"Laa ilaaha illallaahu wahdahu laa syariikalah, lahul mulku walahul hamdu yuhyiii wayumiitu wahuwa alaa kulli syaiin qadiir. Laa ilaaha illallaahu wahdah, anjaza wadahu manashara abdahu wa hazamal ahzaaba wahdah."
Doa tersebut terdengar lantang diserukan oleh puluhan jamaah yang tergabung dalam Embarkasi Surabaya, Jawa Timur, saat melakukan ibadah sai atau berlari-lari kecil antara Bukit Safa dan Marwah, Senin (23/8) dini hari.
Dalam barisan rapi para jamaah tersebut berbaris mengikuti pembimbing ibadah mereka yang melantunkan doa-doa yang wajib dibaca saat melakukan sai dengan bantuan pengeras suara.
Suara mereka menggema di lintasan sai lantai dasar itu. Membentur dinding dan dipantulkan ke segala penjuru sehingga menciptakan nuansa kekhusukan tersendiri.
Membumikan kekhidmatan dalam lintasan yang biasanya hanya diwarnai oleh bunyi nafas jamaah yang kelelahan atau seruan-seruan memanggil rekannya yang ketinggalan agar bergerak lebih cepat.
Irama lantunan doa tersebut tampak mempengaruhi sejumlah jamaah lain, diantaranya datang dari berbagai negara seperti India, Bangladesh, Malaysia, dan Asia Tengah, untuk mengikuti tempo mereka.
Mereka tampak ikut menurunkan temponya dan membaca doa dengan lebih perlahan, beberapa bahkan terlihat mengikuti lantunan doa yang dibacakan oleh rombongan asal Surabaya itu daripada membaca dari buku yang berada di tangan mereka.
Lintasan sai yang biasanya sunyi itu kali ini menggemakan nada yang sama, pujian untuk Yang Kuasa.
Menurut seorang petugas yang memiliki pengalaman panjang mendamping jamaah haji, jamaah Indonesia dari beberapa daerah tertentu memang dikenal dengan lantunan doa, zikir dan salawat yang disenandungkan dengan lantang, khususnya saat melakukan sai.
Mereka juga biasanya berjalan perlahan dalam bentuk barisan yang rapi, sesekali dengan mengangkat tangan --sebuah sikap tubuh yang lazim dilakukan saat melantunkan doa. Berbeda dengan lintasan tawaf --berkeliling tujuh putaran mengitari Kabah-- yang berbentuk lingkaran, lintasan sai yang berbentuk lurus memanjang memudahkan para jamaah itu membentuk barisan.
Ketika rombongan tersebut telah menyelesaikan ibadah sai, mereka terlihat tertib berdoa di Bukit Marwah sebelum kemudian bergantian melakukan tahalul yakni prosesi memotong rambut untuk menandakan usainya umroh. Tidak ada keriuhan semuanya seperti telah diatur sebelumnya. Jamaah yang membawa gunting tampak telah tahu siapa-siapa saja yang menjadi tanggung jawabnya.
Uniknya ketika prosesi tahalul selesai mereka dengan rapi kembali ke barisan dan berkumpul di salah satu sudut Bukit Marwah untuk mengambil foto bersama sebelum meninggalkan Bukit Marwah melalui Pintu Marwah menuju ke terminal Syib Amir ataupun Bab Ali.
Beberapa rombongan bahkan tampak telah membawa bendera khusus bertuliskan kelompoknya untuk berfoto. Tak ada keributan saat mengambil posisi berfoto, semua orang dengan sigap langsung berdiri di posisinya seakan tahu betul di mana mereka harus berdiri.
Dalam Barisan
Sepintas lalu, keputusan untuk membaca doa dengan suara lantang tersebut mungkin tidak lazim tapi hal itu terbukti berjasa besar untuk menjaga seluruh anggota rombongan tetap berada dalam rombongannya.
Pembimbing ibadah pun tampak berjalan perlahan sehingga temponya tidak terlalu cepat bagi para jamaah lanjut usia mengingat lintasan sai bisa mencapai lebih dari dua kilo meter.
Barisan yang rapat juga membuat jamaah lanjut usia ataupun jamaah dengan fisik tidak prima dapat tetap terjaga dalam rombongan karena mereka tidak akan cepat lelah.
Jamaah juga tampak lebih khusuk beribadah karena tidak perlu takut terlepas dari rombongannya.
Sai adalah saat dimana jamaah rentan terpisah dari rombongannya karena pada umumnya mereka telah kelelahan saat melakukan tawaf. Bagi jamaah dengan kondisi fisik prima, litasan sai yang lurus dan relatif tidak terlalu ramai saat umroh mendorong mereka untuk berjalan dengan cepat, yang akan memicu jamaah-jamaah lanjut usia memaksakan diri untuk mengikuti agar tidak lepas dari rombongan.
Pantauan Antara, beberapa jamaah lanjut usia bahkan terpaksa harus berlari untuk mengejar anggota rombongannya.
Itulah sebabnya banyak kasus terjadi jamaah jatuh atau kelelahan saat melakukan sai.
Dalam dua pekan terakhir, tercatat beberapa jamaah sampai harus mendapatkan perawatan di sela-sela ibadah sai. Seseorang bahkan dilaporkan meninggal dunia ketika melakukan sai.
Makin Malam
Menjelang tengah malam, jumlah jamaah yang memadati Masjidil Haram makin banyak. Untuk jamaah Indonesia lazimnya umroh wajib memang dilakukan menjelang tengah malam di luar waktu shalat untuk menghindari kerumunan massa yang banyak yang berpotensi membuat jamaah makin rentan kebingungan.
Umroh wajib yang dilakukan menjelang tengah malam juga memberikan kesempatan pada jamaah untuk beristirahat dahulu di pemondokan setibanya dari Madinah untuk gelombang pertama atau dari bandara Jeddah ntuk gelombang kedua.
Pada malam hari, cuaca juga relatif lebih sejuk sehingga jamaah akan lebih nyaman menjalankan ibadahnya.
Menurut Penghubung Kesehatan Daerah Kerja Mekkah Ramon Andrias, bagi jamaah yang baru saja melakukan perjalanan jauh dan panjang, cuaca panas dapat dengan cepat menurunkan stamina tubuh.
Makin mendekati dini hari, satu per satu kelompok terbang (kloter) jamaah Indonesia tampak menyemut di lintasan tawaf ataupun sai. Mereka lazimnya menggunakan syal warna-warni bertuliskan asal provinsi mereka di leher sehingga para petugas yang berjaga di seputar Masjidil Haram dapat dengan mudah memantau jika ada jamaah yang terlihat terlepas dari rombongannya.
"Rata-rata yang terpisah dari rombongannya memang jamaah lanjut usia atau jamaah risiko tinggi karena mereka tidak mampu mengikuti kecepatan teman-temannya satu rombongan," kata Sertu Maryanti Oktapia, petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Sektor Khusus yang bertugas di seputar Masjidil Haram untuk membantu jamaah yang tersesat.
Sertu Maryanti bersama rekan-rekannya bertugas selama 24 jam yang terbagi dalam dua shift. Kebetulan malam itu ia bertugas pada shift dua yaitu pukul 21.00-09.00 waktu Arab Saudi di Pos Bukit Marwah, lokasi rentan jamaah terpisah dari rombongannya.
Dalam dua jam saja, ia telah melayani lebih dari sepuluh jamaah, dengan beragam tingkat kesulitan. "Paling banyak bertanya arah, kalau yang sampai harus kita bawa ke pos utama atau diantar ke pemondokan relatif sedikit," katanya sebelum bersama rekannya mengantarkan pasangan suami istri dengan kursi roda kembali ke pemondokan.
Pemerintah Indonesia sampai tahun ini memang relatif belum terlalu banyak memberikan batasan status kesehatan atau usia bagi jamaah haji sehingga menurut Kasi Kesehatan Daerah Kerja Mekkah dr. Mezlan Dharmyuli Riza sekitar 60an persen jamaah haji Indonesia berusia lanjut atau di atas 60 tahun. Jumlah yang hampir sama juga memiliki penyakit bawaan sehingga masuk kategori jamaah risiko tinggi.
"Labbaikallaahumma labbaika, labbaika laa syariika laka labbarika, innal hamda wan-nimata laka wal-mulka laa syariika laka".
Saat hati diketuk dan kepedulian digugah karena ibadah haji dan rangkaiannya bukan lomba lari yang menuntut seseorang menjadi yang pertama mencapai garis finis. Jadi mengapa tidak saling menyempurnakan ibadah dengan menjadi lebih peduli?
Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016