Kupang (ANTARA News) - Tujuh tahun sudah nelayan-nelayan di Nusa Tenggara Timur memperingati kasus meledaknya kilang minyak Montara milik PTTEP Australasia yang terjadi di Blok Atlas Barat Laut Timor pada 21 Agustus 2009.
Bertepatan dengan peringatan tujuh tahunan tragedi tersebut kurang lebih 13.000 nelayan serta petani rumput laut yang berada di seluruh pesisir wilayah Nusa Tenggara Timur itu melakukan gugatan "class action" di Pengadilan Federal Sydney, Australia, dengan menuntut PTTEP Australasia atas tragedi tumpahan minyak tersebut.
Gugatan yang dilakukan oleh ribuan nelayan provinsi kepulauan itu menunjukkan bahwa apa yang dilakukan oleh perusahaan pengebor minyak itu merusak ekosistem laut yang kemudian bahkan selama bertahun-tahun memangkas mata pencaharian masyarakat NTT yang nota bene adalah nelayan.
Hasil tangkapan sejumlah nelayan seperti nelayan-nelayan dari Oesapa Kupang juga mengalami penurunan yang sangat drastis mencapai 70 persen setelah meledakya kilang minyak tersebut selama tujuh tahun tersebut.
"Sebelum meledaknya kilang minyak Montara, penghasilan yang kami dapat dari mencari ikan di laut Timor bisa mencapai lebih dari Rp20 juta, namun saat ini untuk memperoleh Rp5 juta saja, sudah tidak bisa lagi," kata Ketua Aliansi Nelayan Tradisional Laut Timor H. Mustrafa.
Sebagai nelayan, kata dia, ribuan nelayan di Oesapa tidak pernah berhenti melaut untuk mengais rezeki, namun penghasilan yang diperoleh dari hasil melaut juga terkadang berbanding lurus dengan biaya operasional yang dikeluarkan.
Akibat penghasilan dan biaya operasional yang tidak seimbang tersebut, membuat sejumlah nelayan di NTT khususnya di Oesapa harus mencari daerah baru yang tidak tercemar minyak dari Kilang Minyak Montara.
Migrasi yag dilakukan kurang lebih 70 persen nelayan di Kupang tersebut sudah dilakukan sejak 2010 lalu.
Daerah tujuan mereka juga tidaklah dekat, tetapi jauh sampai ke wilayah Sulawesi serta Kalimantan yang perairan lautnya masih belum tersentuh dengan tumpahan minyak tersebut.
Tragedi tumpahan minyak Montara tujuh tahun sudah berlalu, namun tragedi yang merusak ekosistem laut, memangkas penghasilan nelayan tersebut seolah-olah dilupakan dengan dengan berbagai kasus yang terjadi di negeri ini.
Pada awal 2014 lalu sebuah Yayasan yang diberi nama Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) yang diketuai oleh Ferdi Tanoni lebih dari tujuh tahun memperjuangakan hak-hak masyarakat nelayan serta petani rumput laut yang terkena dampak dari tumpahan minyak terburuk dalam sejarah industri perminyakan di lepas pantai Australia.
Mereka pun sudah membuat sebuah seminar nasional di Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang dengan mengundang seorang senator Autralia bernama Rachel Siewert dari Parliement House Of Canberra terkait masalah pencemaran laut Timor tersebut.
Dari hasil seminar tersebut, pihak YPTB sendiri menyampaikannya ke pemerintah pusat yang saat itu masih dipimpin oleh mantan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.
Namun sampai pada pergantian Presiden, pemerintah pusat justru dinilai acuh tak acuh dengan pencemaran laut Timor tersebut.
Hari terus berganti, bulan dan tahun juga terus berganti. Tujuh tahun perjuangan untuk menuntut soal kasus Montarapun diterima langsung oleh Pengadilan Federal Australia di Sydney.
Gugatan 13.000 nelayan serta petani rumput laut itu diadvokasi oleh Ferdi Tanoni, sementara itu gugatan para petani rumput laut tersebut diwakili oleh Daniel Sanda, seorang petani rumput laut asal Pulau Rote, Kabupaten Rote Ndao, NTT.
Ganti Rugi
Negara Kangguru itupun dituntut untuk menganti rugi apa yang telah dilakukan oleh perusahaan minyak PTEEP Australasia, karena dalam perjalanan kasus tersebut perusahaan itu justru lepas tangan dan tidak ingin menganti rugi kerugian yang dialami oleh para petani rumput laut dari NTT tersebut.
Pengacara Maurice Balacburn sendiri dalam gugatan tersebut menuntut pemerintah Australia harus mengganti kerugian yang dialami nelayan dan petani rumput laut NTT sebesar Rp200 juta dolar AS.
Hal ini dikarenakan dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh tim pengacara dari Australia tumpahan minyak itu merupakan kasus serius yang membahayakan kehidupan, lingkungan dan mata pencaharian ribuan nelayan dan petani rumput laut di daerah itu.
Ferdi Tanoni mengatakan, Pemerintah Federal Australia harus ikut bertanggung jawab atas kasus pencemaran ini, karena beberapa bukti menunjukkan untuk menutup tumpahan minyak tersebut pemerintah Australia berusaha menyemprotkan "dispersant" yang dapat merusak ekologi laut dan menghancurkan rumah-rumah ikan untuk bertelur, sehingga ikut memicu kehancuran biota laut lainnya.
"Australia tidak bisa lepas tangan dari kasus ini, karena sejumlah saksi mata melihat pesawat Australia terbang rendah di atas laut Timor sambil menyemprotkan cairan kimia di atas gumpalan minyak tersebut," tutur Ferdi.
Muhammad Hatta salah seorang nelayan asal Oesapa Kupang mengatakan, sepekan setelah kasus meledaknya kilang minyak tersebut, ia beberapa kali melihat pesawat milik Australia berwarna merah menyemprotkan cairan di atas laut Timor.
Di samping itu, berdasarkan hasil foto satelit diketahui, pesawat-pesawat yang memuntahkan cairan di atas Laut Timor itu, milik Badan Otoritas Keselamatan Maritim (AMSA), sehingga dari bukti-bukti tersebut pernyataan ganti rugi dari Federal Australia harus segera dilaksanakan.
Berbagai cara telah dilakukan oleh YPTB menuntut agar adanya ganti rugi dari pemerintah Australia yang besarannya mencapai 200 juta dolar AS dengan harapan bisa segera diwujudkan, mengingat nelayan dan petani rumput laut di NTT masih merugi dengan kasus Montara itu.
Menunggu Respons
Hingga saat ini, setelah sidang perdana yang dilakukan di Australia pada Senin (22/8), sejumlah nelayan dan petani rumput laut dan YPTB yang berjuang menuntut hak nelayan dan petani rumput laut di NTT menunggu tanggapan dari pemerintah Pusat.
Menurut Ferdi Tanoni, pemerintah Indonesia bisa melakukan penekanan-penekanan terhadap PTTEP Australasia yang mengelola kilang minyak Montara tersebut, karena memiliki aset hampir mencapai 3,5 miliar dolar AS dari sejumlah kilang minyak yang beroperasi di Indonesia.
Langkah tegas yang perlu diambil Jakarta adalah dengan mencabut izin operasional PTTEP Australasia di Indonesia serta mendesak Australia untuk duduk bersama melakukan perundingan dalam upaya mengakhiri kasus pencemaran yang sudah berjalan tujuh tahun ini.
Jika Australia tidak mengambil pusing dengan ajakan perundingan tersebut maka langkah berikutnya adalah membatalkan Perjanjian 1997 antara kedua negara di Laut Timor karena sampai sejauh ini belum diratifikasi oleh parlemen kedua negara, baik Australia maupun Indonesia.
"Langkah-langkah ini yang kami harapkan bisa ditindaklanjuti oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo, agar kasus lanjutan dari dampak pencemaran tersebut, seperti menurunnya hasil tangkapan nelayan serta dampak kesehatan lingkungan terhadap masyarakat pesisir di NTT," ujar Ferdi Tanoni.
Masyarakat pesisir NTT tentu berharap tragedi pencemaran laut yang menimpa mereka selama sekitar tujuh tahun itu tidak lagi dilupakan begitu saja. Dengan demikian, masyarakat juga tidak perlu lagi menempuh jalur "class action" untuk menyelesaikannya.
Oleh Kornelis Kaha
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016