Jakarta (ANTARA News) - Kelompok Syiah dan Sunni di Timur Tengah yang sejak lama terlibat dalam konflik harus menyelesaikan masalah mereka melalui pendekatan non militer atau dialog untuk mencegah terjadinya perang saudara di kawasan itu, kata seorang pengamat. "Harus ada dialog lintas Sunni dan Syiah agar tidak lagi terjadi krisis yang sewaktu-waktu bisa mengarah ke perang saudara," kata pengamat politik internasional Universitas Indonesia (UI), Beginda Pakpahan, di Jakarta, kemarin. Perbedaan prinsip antara kedua kelompok yang terjadi sejak puluhan tahun silam itu mestinya dapat diselesaikan dengan pendekatan non militer atau "soft power" tanpa menggunakan senjata dan bom sehingga tidak banyak warga sipil menjadi korban, katanya. Perpecahan yang mengarah kepada perang antara kedua kelompok tersebut saat ini terjadi di Irak pasca jatuhnya rezim Saddam Hussain. Menurut dia, permasalahan yang terjadi di Irak itu erat kaitannya dengan kepentingan politik dan politik. Pertentangan Sunni-Syiah memang memiliki sejarah sangat panjang. Dimulai dari masa-masa awal kelahiran agama Islam, sekitar tahun 35 Hijriah, katanya. Ketika itu, Muawiyyah, Gubernur Syam (Suriah) yang berkedudukan di Damaskus, menolak pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai "Amirul Mukminin" menggantikan Khalifah Utsman yang tewas dibunuh kaum pemberontak. Konflik Ali-Muawiyyah itu memicu perang di Lembah Siffin, dekat Sungai Eufrat, Irak, tetapi diakhiri perdamaian di Daumatul Jandal, sebelah utara Madinah. Selain bertentangan secara politik, Sunni dan Syiah pun kemudian bertentangan secara teologis. Para pemikir Syiah membuat hukum-hukum teologi baru yang membedakan mereka dengan kaum Sunni. Sehingga menjadi mazhab teologi yang terpisah hingga kini, walaupun dalam beberapa hal, terutama fikih (ketentuan syariat), tetap memiliki kesamaan. Di Irak, selama berabad-abad, kelompok Sunni berhasil meraih posisi elite di berbagai bidang kehidupan. Sedangkan kelompok Syiah merupakan masyarakt kelas bawah yang kadang-kadang menjadi korban penindasan penguasa-penguasa Irak, misalnya saat Saddam Hussein berkuasa. "Maka demi menghindari perang saudara yang berkepanjangan perlu digelar dialog antara mereka," kata Beginda.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007