Jakarta (ANTARA News) - Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Baharuddin Aritonang menyatakan, aset-aset yayasan Soeharto seharusnya merupakan bagian dari aset atau kekayaan negara berdasar UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. "Mestinya masuk sebagai aset negara karena sesuai UU Nomor 17 tahun 2003 memang kalimatnya seperti itu, di mana usaha-usaha yang dibentuk dengan uang negara bagaimanapun juga merupakan keuangan negara," kata Baharuddin usai seminar diseminasi sector report on accountability and audit in Indonesia di Jakarta, Rabu. Ia menyebutkan, pihaknya akan mengaudit yayasan-yayasan itu jika memang pemerintah sudah mendeklarasikan bahwa itu merupakan aset negara. "Iya, kita siap kalau nanti sudah dideclare sebagai aset atau uang negara ya kita siap. Tapi kan tergantung dari mereka (pemerintah), pokoknya pemerintah yang menetapkan. Bisa Departemen Keuangan bisa presiden, tapi jangan Depkeu saja fokusnya," katanya. Menurut dia, karena belum ada penetapan apakah aset pada yayasan itu merupakan aset negara atau bukan maka aset-aset tersebut belum masuk dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2006. "Belum, karena itu belum dipastikan apakah masuk sebagai aset negara. Kalau ada rencana itu dimasukkan, maka juga harus ada kepastian itu akan berada di pos mana dan siapa auditinya (yang diperiksa)," jelasnya. Baharuddin menyatakan masalah yayasan-yayasan mantan Presiden Soeharto itu merupakan kasus lama, namun ketika ditanya apakah BPK pernah melakukan audit tarhadap masalah itu, Baharuddin menyatakan tidak tahu. "Saya tidak tahu, tapi dulu mungkin sudah ada sebelum saya masuk ke BPK, itu kan sudah lama," katanya. Sebelumnya Depkeu menyatakan mengalami kesulitan dalam mendata aset-aset negara yang terdapat di tujuh yayasan milik mantan Presiden Soeharto karena yayasan-yayasan tersebut menolak dimasukkan sebagai aset negara. "Seperti 7 yayasan Pak Harto, saya sudah hubungi berkali-kali Pak Subiakto Cakrawerdaya, dan dia sering balas surat saya. Dia bilang belum bisa dikasih. Padahal kita tahu dulu sebagian dana-dananya dari penyisihan untung BUMN. Ini kami anggap harus diinformasikan ke masyarakat, tapi kami belum berhasil," kata Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Ditjen Perbendaharaan Depkeu, Hekinus Manao. Yayasan-yayasan yang diketahui merupakan milik mantan Presiden Soeharto antara lain Yayasan Supersemar, Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan Siti Hartinah Soeharto. Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, dan Yayasan Bantuan Beasiswa Yatim Piatu Tri Komando Rakyat. Dia menambahkan selama ini pihaknya hanya melakukan surat-menyurat dengan seluruh yayasan tersebut. "Kita perlu menjelaskan lebih baik lagi pada mereka tentang aset negara itu," katanya saat ditanya apa yang akan dilakukan Depkeu untuk mengejar data aset tersebut. Menurutnya, pihaknya berpegang pada UU 17/2003 tentang keuangan negara pasal 2 yang menjelaskan bahwa kekayaan negara adalah kekayaan yang bersumber dari pemerintah dan dikelola oleh pihak ketiga, atau pihak lain.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007