Jakarta (ANTARA News) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa kemarau basah yang saat ini sedang terjadi merupakan pengaruh dari anomali hujan.
Dalam konferensi pers di kantor BMKG di Jakarta, Jumat, Kepala BMKG Andi Eka Sakya menjelaskan bahwa hingga saat ini sebanyak 27,2 persen wilayah di Indonesia belum memasuki musim kemarau dan masih terus didera oleh curah hujan yang tinggi.
"Ini menegaskan terjadinya kemarau basah atau wet spell, ujar Andi menjelaskan.
Dia menjelaskan, kondisi tersebut terjadi akibat pengaruh tidak kuatnya Monsoon Australia atau angin timur, kondisi perairan di Indonesia yang lebih hangat, serta adanya Indian Ocean Dipole (IOD) mode negatif.
Faktor-faktor tersebut memicu curah hujan yang lebih tinggi dari pada rata-rata normal di periode yang sama dalam 30 tahun terakhir di sebagian besar wilayah Indonesia.
Menurut penjelasan BMKG, IOD merupakan fenomena saat kondisi suhu muka laut di bagian barat Pulau Sumatera lebih hangat dari suhu muka laut di wilayah pantai timur Afrika.
Hal tersebut menyebabkan bertambahnya pasokan uap air yang menyebabkan meningkatnya potensi curah hujan di wilayah Indonesia bagian Barat, khususnya di wilayah Sumatera dan Jawa bagian barat.
"Di pole mode negatif ini sudah muncul sejak Mei 2016, sehingga berpengaruh pada munculnya kemarau basah. Kita prediksi IOD akan usai pada bulan November 2016," tutur Andi memaparkan.
Selain itu, La Nina juga diprediksi akan mulai menguat intensitasnya pada bulan Agustus, September, Oktober (ASO) yang diperkirakan intensitasnya berskala moderat atau sedang.
BMKG memperkirakan, kondisi La Nina akan terus berlangsung hingga Januari, Februari, Maret (JFM) tahun 2017 dan berpotensi menjadikan kondisi basah di wilayah Indonesia.
Pewarta: Roy Rosa Bachtiar
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016