Jakarta (ANTARA News) - Komisi Nasional Perempuan menyatakan ada 421 kebijakan diskriminatif di Indonesia sepanjang tahun 2009-2016, meningkat dibandingkan kebijakan diskriminatif tahun sebelumnya sebanyak 389 kebijakan.
"Ada 33 kebijakan diskriminatif lain yang kami temukan sampai Agustus 2016 ini. Ada satu kebijakan diskriminatif yang telah dibatalkan yakni larangan laki-laki dan perempuan berkeliaran di malam hari yang dibatalkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat," kata Ketua Gugus Kerja Perempuan dalam Konstitusi dan Hukum Nasional Komnas Perempuan Khariroh Ali, di Jakarta, Kamis.
Menurut Khariroh, tahun 2016 ini adalah tahun ketujuh pihaknya mengingatkan pemerintah atas jumlah kebijakan diskriminatif sejak tahun 2009.
Menurut analisis Khariroh, kebijakan yang diskriminatif itu umumnya mengatur ketertiban umum.
"Sayangnya, tidak ada batasan baku mengenai lingkup ketertiban umum ini, sehingga tak jarang mengatur seluruh aspek mulai dari pengaturan di jalan raya, kegiatan usaha, administrasi kependudukan, pornografi, hingga pengaturan ibadah," katanya pula.
Dia menyatakan, pemerintah daerah tak jarang mengkriminalkan tindakan yang seharusnya dijamin oleh konstitusi, seperti hak berkumpul dianggap sebagai tindakan asusila.
"Di sini ada pengabaian asas praduga tak bersalah serta peraturan multitafsir," kata dia lagi.
Komnas Perempuan juga mencatat pemerintah daerah masih gemar melakukan kebijakan yang mengutamakan simbolisasi agama, sehingga mengeluarkan kebijakan yang secara langsung membatasi dan mengabaikan pemenuhan hak konstitusi.
"Pemerintah harus serius menangani ketidakpatuhan penyusunan kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah," ujar dia.
Komnas Perempuan menyesalkan dari 3.134 perda yang dibatalkan Menteri Dalam Negeri pada Juni 2016 seluruhnya berkaitan dengan investasi dan perizinan.
"Ada keraguan pemerintah menggunakan mekanisme pembatalan yang tercantum dalam UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah terhadap peraturan yang diskriminatif. Adapun hasil catatan kami ini akan dibawa kemudian ke Kemendagri," kata dia pula.
Ketua Komnas Perempuan Azriana mengakui upaya menghapus kebijakan diskriminatif memang berat.
Menurut dia, dalam praktiknya, ada politisasi yang kuat sehingga tak jarang penghapusan kebijakan diskriminatif bertentangan dengan kelompok agama.
"Kita tahu setelah otonomi daerah, masing-masing daerah punya semangat menunjukkan identitas masing-masing. Tapi ini harus diatur. Kebhinnekaan adalah jati diri bangsa Indonesia yang harus dirawat dan dilindungi," kata Azriana lagi.
Dia menegaskan hak konstitusional adalah tanggung jawab penyelenggara negara dan diberikan kepada seluruh masyarakat bukan hanya minoritas baik dari segi agama maupun gender.
Pemerintah juga harus punya cara yang ampuh untuk memastikan tidak ada hak konstitusi yang terlanggar akibat kebijakan diskriminatif itu.
"Harus ada kebijakan hukum bagi yang melanggar dan ada pembatalan dari pemerintah. Kalau negara tidak bisa menegakkan konstitusi ya siapa lagi," ujar dia mempertanyakannya.
Komnas Perempuan juga mencatat sepanjang 2009 sampai 2016 ada 349 perda kondusif yang mendukung perlindungan bagi perempuan.
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016