Bogor (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan keyakinannya, Selasa, bahwa para ulama akan lebih dapat diterima oleh warga Irak daripada kekuatan asing dalam proses penyelesaian konflik Irak. "Oleh karena itu saya mendesak para ulama agar turut berkontribusi mewujudkan perdamaian dan harmonisasi di Irak," katanya pada konferensi internasional para pemimpin umat Islam untuk rekonsiliasi Irak di Istana Bogor, Selasa. Para ulama, lanjut dia, diharapkan dapat mendorong dialog berkelanjutan menuju rekonsiliasi dan saling memaafkan, tidak hanya demi kepentingan negara tapi juga umat. Presiden juga menilai, konflik sektarian yang terjadi di Irak bukan merupakan permasalahan mendasar antara kelompok Sunni dan Syiah. "Sebagian besar pengikut dua kelompok utama umat Islam itu dahulu hidup penuh damai dan harmonis di Irak. Mereka dapat mewujudkan itu kembali," kata Presiden. Menurut Presiden, warga Irak dapat kembali melakukan dialog dan belajar mempercayai satu sama lain sehingga dapat terhindar dari para provokator dan kembali memperkuat persaudaraan di bawah bimbingan para pemimpin umatnya. "Walaupun konflik di Irak unik, demikian juga konflik yang lain, namun penting bagi semua konflik agar penyelesaian damai jangka panjangnya melibatkan dialog, kepercayaan dan niat baik," katanya. Menurut Presiden, apa yang terjadi di Irak sekarang adalah peperangan antara pikiran dan hati sehingga tidak dapat dimenangkan oleh senjata ataupun bom. Warga Irak, menurut Presiden, perlu mencapai rekonsiliasi nasional, dialog, ketenangan spiritual dan bimbingan dari pemimpinnya, rasa aman, harapan, pekerjaan, pendidikan, pelayanan kesehatan dan perasaan tidak sendirian. "Saya percaya itulah yang diperlukan, tidak hanya untuk Irak, tapi seluruh wilayah konflik, setidaknya dari pengalaman di Bosnia, Timor Leste dan Aceh, yang baru-baru ini kami berhasil mencapai perdamaian permanen yang mengakhiri konflik 30 tahun," katanya. "Kita memerlukan upaya nyata untuk menghentikan kekerasan yang akan memicu balas dendam, dan mempromosikan dialog persaudaraan untuk mewujudkan rekonsiliasi," katanya. Konflik sektarian di Irak yang terjadi pasca-pendudukan AS pada 2003 telah mengakibatkan lebih dari 34 ribu warga Irak meninggal dan 37 ribu terluka serta 471 ribu tidak diketahui keberadaannya, hanya pada 2006. Aksi kekerasan yang terjadi telah mengikis tradisi toleransi beragama dan sikap saling menghormati. Pada kesempatan itu Menlu Hassan Wirajuda mengatakan bahwa pertemuan Bogor, 3-4 April, melibatkan dua pihak kelompok Sunni-Syiah internasional dari sembilan negara, yaitu Iran, Irak, Mesir, Jordania, Malaysia, Lebanon, Pakistan, Suriah, dan Indonesia serta perwakilan Organisasi Konferensi Islam (OKI). Pemerintah RI berperan sebagai fasilitator dan penggagas bersama dua organisasi Islam besar di Indonesia, Muhammadiyah dan NU, sedangkan ulama RI yang turut dalam konferensi berperan sebagai moderator, katanya. Dalam pertemuan itu ditargetkan 20an ulama yang sebagian berasal dari Timur Tengah hadir. Di antara para undangan antara lain adalah Sheikh Mohammad Mehdi Taskiri tokoh Syiah Iran, Mahmood Al Sumai Dai tokoh Sunni Irak, I Khamal Mufti asisten Sekjen OKI dan Dato` Seri Tan Sri Sanusi Junid Presiden Universitas Islam Antar Bangsa Malaysia. Sementara itu delegasi dari Indonesia adalah Ma`ruf Amin (MUI), Mahfur Usman (NU), Syafii Maarif (Muhammadiyah), Yunahar Ilyas (Muhammadiyah) dan Jalaludin Rahmat (tokoh Syiah). Awal Maret 2007 sejumlah negara di Timur Tengah, AS, dan Eropa telah menggelar pertemuan Baghdad guna mencari penyelesaian damai bagi kasus Irak.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007