"Mengacu pada pasal 32 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia, pembatalan kewarganegaraan seorang WNI harus melalui proses administrasi," kata dia di Padang, Senin.
Menurutnya proses administrasi pembatalan kewarganegaraan seorang WNI merupakan pengejawantahan dari Asas Publisitas yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006.
Ia menjelaskan Asas Publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh, kehilangan, memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia, atau ingin tetap menjadi Warga Negara Indonesia diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya.
"Artinya, seorang WNI tidak serta hilang kewarganegaraan ketika menerima paspor dari negara lain," ujarnya yang merupakan pengajar Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Padang.
Ia memandang proses administrasi tersebut didahului dengan pelaporan baik oleh instansi maupun oleh masyarakat dalam membatalkan kewarganegaraan seorang WNI, yang dapat dipahami sebagai wujud dari kehati-hatian negara dalam mengambil kebijakan penting membatalkan kewarganegaraan seseorang.
"Negara harus hati-hati mengambil kebijakan amat penting itu untuk memastikan bahwa warga negaranya yang diberikan paspor oleh negara lain bertindak benar-benar atas kemauan sendiri, tanpa ada kepentingan lain dibalik keputusan tersebut," katanya.
Sikap hati-hati tersebut penting dilakukan oleh negara di tengah persaingan global yang menghalalkan negara-negara saling berlomba membujuk orang-orang berpendidikan untuk berimigrasi ke negaranya yang disebut dengan "brain drain", lanjutnya.
Ia menganalisis dalam kasus Arcandra, strategi "brain drain" bisa jadi telah dilakukan oleh Amerika Serikat karena yang bersangkutan memiliki tiga paten terdaftar di negeri "Paman Sam" itu dan dua lainnya dalam status tunda.
Tidak hanya Amerika, negara-negara lain pun mungkin juga tergoda mengambil Arcandra menjadi warganya, ujarnya.
Oleh sebab itu, lanjutnya, dalam konteks ini sebenarnya bangsa Indonesia berutang kepada pembuat Undang-Undang Kewarganegaraan dan aturan turunannya, yang dengan sangat arif membuat ketentuan yang menghambat strategi "brain drain" yang dijalankan oleh negara-negara maju dan pintar seperti Amerika Serikat.
Bisa dibayangkan, seandainya pembuat UU tidak menjadikan asas publisitas sebagai salah satu asas ketika membuat UU Kewarganegaraan, orang hebat seperti Arcandra tidak lagi dapat dimanfaatkan tenaga dan pikirannya untuk membangun bangsa, katanya.
Sebelumnya Menteri ESDM Archandra Tahar mengaku dirinya masih memegang paspor Indonesia atau berstatus WNI.
"Paspor Indonesia saya masih valid silahkan dicek," katanya.
Menteri yang akrab disapa Candra itu menegaskan, dirinya sudah mengembalikan proses kewarganegaraan Amerika Serikat (AS).
Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016