Jakarta (ANTARA News) - Pertamina dinilai lebih tepat mengelola PLN dalam bentuk perusahaan induk (holding) BUMN bidang energi ketimbang menyerahkan anak usahanya, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), ke perusahaan listrik tersebut.

"Cost-nya (biaya, red) akan jadi lebih murah jika PLN jadi anak usaha Pertamina karena Pertamina bisa memasok bahan bakar minyak dan panas bumi ke PLN," kata analis ketahanan energi dari Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Dirgo D Purbo di Jakarta, Jumat, mengomentari wacana pengalihan PGE ke PLN.

Menurut Dirgo, PGE merupakan perusahaan yang bergerak sebagai pengelola energi panas bumi, sedangkan PLN merupakan perusahaan distribusi dan transmisi listrik.

"Seharusnya masing-masing fokus saja dalam dua bidang usaha tersebut," katanya.

Pernyataan serupa diungkapkan Hari Poernomo, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Gerindra.

Menurut dia, lebih ideal kalau pemerintah membentuk holding BUMN energi. Di dalamnya, tidak hanya Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara (Persero).

"Idealnya Pertamina, PGN, dan PLN sekaligus di dalamnya juga ada SKK Migas yang khusus untuk urusan kontraktor migas asing," kata dia.

Hari mengungkapkan tidak masalah kalau PGE akan disatukan dengan PLN sebagai pembeli tunggal uap panas bumi.

Namun penyatuan tersebut menunjukkan tidak adanya kesatuan visi dan misi antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian BUMN dalam mewujudkan kecukupan energi listrik murah dan ramah lingkungan.

"Kalau kedua menteri tersebut bisa bersinergi dengan lebih baik, tentu tidak perlu penyatuan tersebut (PGE dan PLN). Seharusnya Presiden bisa mengatasi kelemahan ini," ujar Hari.

Direktur Utama PLN, Sofyan Basir sebelumnya mengklaim sudah bertemu dengan Menteri BUMN bersama Direktur Utama Pertamina dan Direktur Utama PGE untuk membicarakan rencana akuisisi PGE.

Jika PGE dimiliki oleh PLN, menurut Sofyan, harga jual listrik dari panas bumi ke masyarakat bisa menjadi lebih murah. "Jika PLN memiliki PGE, maka PLN juga bisa membantu PGE melakukan eksplorasi panas bumi," katanya.

Namun menurut Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), pengambilalihan PGE oleh PLN berpotensi mematikan pengembangan panas bumi di tanah air.

Apalagi selama ini pengembangan panas bumi kerapkali terganjal masalah harga jual listrik oleh PLN, sebagai satu-satunya pembeli listrik dari Pembangkit Listrik Panas Bumi (PLTP).

"Kita sudah susah payah mengembangkan panas bumi. Kalau benar-benar terealisasi, ini akan mematikan itu semua," kata Ketua API, Abadi Purnomo.

PGE hingga akhir 2016 menargetkan memiliki kapasitas terpasang listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas (PLTP) sebesar 542 megawatt (MW) dengan masuknya tambahan 105 MW dari tiga pembangkit, yakni PLTP Ulubelu Unit 3 berkapasitas 55 MW, PLTP Lahendong Unit 5 berkapasitas 20 MW, dan PLTP Karaha Unit 1 berkapasitas 30 MW.

Salah satu di antaranya, PLTP Ulubelu Unit 3 sudah beroperasi sejak 15 Juli 2016.

Sekretaris Perusahaan PGE, Tafif Azimudin mengatakan saat ini PGE mengerjakan lima proyek panas bumi sekaligus, tiga di antaranya beroperasi tahun ini. Sisanya, akan beroperasi pada 2017.

"Baru PGE satu-satunya perusahaan di Indonesia, bahkan di dunia yang mengerjakan lima proyek panas bumi sekaligus. Kami memang diinstruksikan untuk seprogresif mungkin mengembangkan panas bumi oleh Pertamina," ungkap dia.

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016