"Jauh-jauh ke Arab Saudi makan rendang lagi, rendang lagi."
Mungkin itu yang akan terbayang di benak sebagian besar orang yang membaca daftar menu konsumsi jamaah haji yang dikeluarkan pemerintah.
Deretan variasi menu yang ada memunculkan jenis-jenis menu lokal sederhana yang akrab di telinga dan mulut hampir seluruh rakyat Indonesia, sebut saya ayam semur, ikan bumbu bali, daging bumbu lada hitam ataupun terong balado.
Semua jenis masakan yang disajikan itu adalah menu rumahan. Tidak ada satu pun menu lokal Arab Saudi yang terdaftar di situ.
Untuk memastikan rendang ataupun ayam semur yang dibuat nantinya betul-betul bercita rasa lokal pemerintah bahkan tak hanya meminta bumbu-bumbunya diimpor langsung dari Indonesia tapi juru masaknya juga harus orang Indonesia.
"Kami tak ingin makanan itu tampak seperti rendang tapi rasanya jauh dari itu. Orang Indonesia itu makan tidak banyak tapi rasa penting," kata Kepala Daerah Kerja Mekkah Arsyad Hidayat terkait kebijakan pemerintah menyajikan menu Indonesia selama jamaah haji berada di Tanah Suci.
Tapi mengapa harus bersusah payah untuk menyediakan menu Indonesia? Bukankan akan lebih menyenangkan untuk mencicipi cita rasa lokal saat berkunjung ke daerah asing karena dapat memperkaya wawasan dan memperluas spektrum cita rasa.
Alasan mengapa menjadikan haji sekaligus sebagai wisata kuliner laiknya tren petualangan kuliner yang sedang ramai muncul di beragam program televisi nasional bukan pilihan ternyata terletak di inti dari prosesi haji itu sendiri.
Haji lebih dari sekedar berwisata ke Tanah Suci. Prosesi haji sangat menguras energi karena prosesnya yang panjang dan cuaca ekstrim di Mekkah. Oleh karena itu jamaah haji dituntut memiliki kualitas fisik yang prima selama sekitar 39 hari bagi jamaah reguler.
Salah satu faktor utama penunjang kondisi fisik seseorang adalah jenis makanan yang dikonsumsi yang sangat menentukan asupan gizi dan nutrisi.
Dari 155.200 jamaah haji reguler mungkin hanya sebagian kecil yang pernah makan kofta ataupun kabsa dan lebih sedikit lagi yang menyukainya. Namun, hampir semua jamaah pasti pernah makan rendang dan tahu betul rasa rendang.
Diharapkan jika menu makanan jamaah akrab dengan cita rasa mereka maka mereka akan secara teratur makan yang cukup, apalagi lebih dari 40 persen jamaah adalah jamaah lanjut usia.
Tidak repot.
Kemudian alasan yang lain adalah agar para jamaah itu tidak lagi repot membawa berbagai peralatan masak yang justru akan merepotkan dan membahayakan mereka.
Bukan rahasia jika para jamaah Indonesia senang sekali membawa beras dan berbagai lauk pauk lokal termasuk alat pemasaknya saat berhaji karena tidak menyukai cita rasa masakan Arab.
Keputusan untuk membawa penanak nasi, alat penumbuk cabai dan beragam peralatan lain itu pernah berujung pada kebakaran di salah satu pemondokan gara-gara kelalaian saat memasak.
"Kami ambil alih semua. Sekarang pemerintah yang menyediakan," kata Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Abdul Djamil.
Tidak perlu lagi repot-repot membawa beragam rempah dan peralatan yang tidak ringan, pemerintah menjanjikan rendang dan teman-temannya akan telah siap di pemondokan pada jam-jam yang ditentukan.
Menghindari cita rasa tajam
Selain memastikan makanan bagi jamaah haji nantinya bercita rasa lokal, pemerintah jug mendatangkan para pakar kuliner yang akan memastikan kelayakan dapur, kualitas bahan dan kehigienisan proses pemasakan.
Cita rasa yang tajam juga dihindari dalam masakan-masakan tersebut, terutama saat jamaah melakukan wukuf atau tinggal di Arafah.
"Saya pernah memasak untuk jamaah asal Ujungpandang dan mereka mengeluh masakannya kurang pedas tapi pemerintah melarang membuat masakan pedas," kata Engkong (68), seorang juru masak asal Tasikmalaya,Jawa Barat yang telah puluhan tahun memasak untuk para jamaah.
Di saat kondisi lelah maka tidak tertutup peluang perut menjadi lebih sensitif sehingga makanan dengan cita rasa tajam tidak dianjurkan untuk menghindari diare ataupun sakit perut lainnya.
Dalam peninjauan pertama ke sejumlah perusahaan jasa katering di Mekkah, tim Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) masih menemukan perusahaan yang belum 100 persen siap baik dari segi tenaga kerja maupun peralatan.
Sebuah perusahaan bahkan belum memiliki juri masak Indonesia yang layak serta tempat kerja yang masih di bawah standar.
Terhadap perusahaan-perusahaaan seperti itu pemerintah, menurut Arsyad, akan memberi tenggat waktu untuk memperbaiki sebelum dilakukan evaluasi kelayakan menjelang kedatangan jamaah haji ke Mekkah pada 18 Agustus.
Kelayakan dapur dan kualitas sumber daya menjadi salah satu perhatian penting karena beberapa perusahaan yang bertugas di Arafah diharuskan memasak di tenda dengan menggunakan kayu.
Memasak menggunakan kayu di tengah suhu udara tinggi dipastikan bukan pekerjaan yang ringan, apalagi kali ini untuk pertama kalinya pemerintah memutuskan untuk memberi makan jamaah haji dua kali sehari.
Toha, salah seorang juru masak yang lain, mengaku mereka harus betul-betul mengatur jadwal kerja dengan ketat karena jam kerja yang panjang.
Untuk memenuhi target 7.500 porsi sekali memasak, para juru masak itu akan berkerja mulai jam 12.00 malam untuk memastikan agar makan siang siap didistribusikan pada pukul 08.30 waktu setempat.
Mereka juga harus mulai memasak makan makam pada pukul 08.00 waktu setempat untuk memastikan makan malam dapat dikemas dan didistribusikan mulai pukul 16.30 waktu setempat.
Toha yang bekerja di perusahaan Al Raghaeeb mengaku bekerja bersama empat juru masak dan dibantu oleh 70an tenaga pendukung, mulai dari petugas yang menyiapkan bahan -memotong sayuran, daging dan lain-lain- hingga petugas pengemas.
Mengingat ini kali pertamanya untuk menyediakan makan siang dan malam ia mengaku alur kerja yang mereka rencanakan belum teruji.
Tapi ia berkomitmen untuk memberikan yang terbaik demi lancarnya prosesi haji.
"Jamaah haji ini banyak yang telah menunggu lama untuk berhaji, mari kita jadikan ini bagian dari ibadah kita, membuat para tamu Allah ini nyaman," pesan Arsyad pada para juru masak itu.
Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016