Makassar (ANTARA News) - Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan menegaskan segera memproses pelaku penganiyaan guru SMKN 2 Makassar, Adnan Achmad beserta putranya Alif Syahdan hingga sampai ke pengadilan.
"Kapolda Sulsel sangat intes pada persoalan ini, dan menjadikan perhatian serius dalam penegakan hukum," kata Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Frans Barung Mangera saat dialog terbuka di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis.
Dalam dialog terbuka itu mengangkat tema Prespektif Hukum dan budaya Dalam Kasus Pemukulan Guru, kata Barung, polisi akan tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.
"Pak Kapolda berpesan, jangan khawatir kasus ini akan dikawal sampai pengadilan. Mau siapun baik dia oknum wartawan tabloid KPK, LSM Laskar Merah Putih, polisi tidak takut, tetap kita proses siapapun dia," tegasnya dalam diskusi tersebut dihadiri guru-guru, siswa, perwakilan PGRI, LSM serta media.
Meski demikian, Barung mengharapkan bantuan bagi saksi-saksi mata bisa hadir untuk menmberikan keterangan penguatan terhadap tersangka, termasuk media mengawasi kinerja Kapolsek Tamalate atas kasus tersebut.
Mengenai dengan pasal yang dikenakan, tambah dia tetap dikenakakan pasal penganiyayan dan apabila terbukti anaknya ikut serta maka tentu dikenakan pasal berlapis. Tetapi pihaknya berharap anak tersangka sebagai pemicunya bisa saja tidak diproses mengingat ada Undang-undang anak di bawah umur, namun semua diserahkan kepada penyidik.
Sementara Wakil Kepala Sekolah SMKN 2 Makassar Amar Bakti dalam dialog itu menyebutkan bahwa memang sejak awal Alif Syahdan punya masalah cukup banyak, mulai kedispilian, perilaku dan prestasi tidak memuaskan.
"Anak ini memang mendapat pengawaan ketat dan sering sekali orang tuanya dipanggil karena kelakuannya. Bahkan penaikan kelas hanya percoban dan ditaruh di kelas XI, mengingat banyak pelanggaran dilakukannya," sebut Amar.
Mengenai dengan keputusan pihak sekolah apakah anak tersebut akan dikeluarkan dari sekolah akibat perbuatan ayahnya memukuli guru dari pemicu atas pelanggaran yang dia terima, lanjut Amar, masih akan dirapatkan dengan Badan Kehormatan (BK) sekolah.
"Sampai saat ini status anak ini masih siswa SMKN 2 sampai ada keputusan dari Dewan Guru, BK dan Kepala Sekolah apakah akan dipertahankan untuk dibina atau dipulangkan ke orangtuanya untuk dibina sendiri. Segera rapat ini kita laksanakan," beber dia.
Pemerhati pendidikan Arkam Azikin yang juga sebagai nara sumber menyatakan dirinya berbicara bukan pada subtansi masalah pemukulan tetapi pada konteks regulasi yang harus dibuat agar persoalan-persoalan itu tidak terus berulang.
"Untuk kasus ini memang harus ada aturan yang melidungi para guru. Kasus pemukulan guru ini harus yang terakhir. Dan baik itu Pemerintah Daerah maupun DPRD Provinsi harus membuat aturan dengan membuatkan Perda ataupun Pergub guna melindungi para guru sebagai tenaga pendidik," ucapnya.
Hal inipun mendapat perhatian dari Ketua Alumni FT UNM sekaligus anggota DPRD Provinsi Sulsel, Kadir Halid. Dalam dialog itu Kadir menyayangkan terjadinya insiden pemukulan guru yang seharusnya hal ini dibicarakan secara kekeluargaan sebab sekolah ada tempat untuk menimba ilmu.
"Tentu saya sangat menyayangkan kejadian itu, saya berharap kejadian ini yang terakhir terjadi. Mengenai regulasi dan aturan, kami akan fikirkan membuat Perda untuk itu saya pribadi akan mengusulkan dan menginisiasi pembentukan Ranperda yang melindungi tenaga pengajar dan siswa," katanya.
Pakar Hukum Prof Marwan Mas juga menjadi pembicara pada kesempatan itu mengatakan bahwa polisi punya tugas dalam menjalankan fungsinya. Meski adanya keterlambatan pemeriksaan, kata dia, tentu polisi harus hati-hati membawa perkara ini sampai tingkat pengadilan.
"Dikepolisian itu ada proses, dan mereka harus hati-hati makanya memang sering lambat karena banyak hal yang perlu diperhatikan. Mula pemeriksaan saksi -saksi, alat bukti dan keterangan lainnya untuk menjadi bahan nanti di pengadilan. Tapi saya yakin pelaku itu akan diproses sampai pengadilan," tambahnya.
Pewarta: Darwin Fatir
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016