Jakarta (ANTARA News) - Usai pelantikan Sri Mulyani Indrawati menjadi menteri keuangan menggantikan Bambang Brodjonegoro, pada akhir Juli 2016, banyak pihak, khususnya para pegawai Kementerian dan lembaga negara merasa "khawatir" karena takut anggarannya akan dipangkas. Ia dikenal paling tidak suka penganggaran yang bersifat boros dan tidak tepat guna.
Urusan subsidi melalui Publik Service Obligation/PSO, selama ini diberikan ke berbagai Lembaga Negara dan Badan Usaha Milik Negara, seperti Lembaga Informasi Nasional, LIPI, PT Kereta Api Indonesia, Pelni, PT Pupuk, PT Sang Hyang Seri (bergerak pada pembibitan), Pertamina, dan PSO untuk lembaga yang bergerak di bidang pers juga merasa "was-was" takut anggarannya akan kena potong.
Sri Mulyani ekonom yang cukup mahfum dengan sistem ekonomi pasar. Ia pasti tidak sepenuhnya menghendaki berbagai bentuk subsidi karena hanya menjadikan suatu lembaga usaha tidak sehat dan tidak efisien. Apalagi subsidi itu tidak berdampak positif terhadap pelayanan publik.
Ia juga tampak tidak suka pengeluaran anggaran untuk pertemuan (meeting), studi banding ke luar negeri, dinas ke daerah yang tidak banyak manfaatnya atau membangun dan memperbaiki gedung-gedung yang sesungguhnya masih dapat dipakai.
Semua anggaran tersebut akan memberatkan pengeluaran negara yang akan berujung pada ambang kebangkrutan. Ibaratnya, "besar pasak dari pada tiang. Besar pengeluaran dari pada pendapatan."
Agar APBN dapat berimbang antara pemasukan dan pengeluaran, disiplin anggaran diperlukan, sehingga negara tidak mudah mengutang ke rakyatnya lewat penerbitan Surat Utang Negara (SUN) obligasi, atau mengutang ke pihak asing.
Itu sebabnya, usai melakukan sidang kabinet di Istana Negara di Jakarta, belum lama ini, ia langsung membuat gebrakan melakukan pemangkasan anggaran yang belum perlu.
"Berdasarkan kalkulasi penerimaan pajak tahun ini, diperkirakan kurang dari Rp219 triliun dari target Rp1.539,2 triliun. Karenanya, langkah pemangkasan sulit dielakkan," katanya.
Pemangkasan anggaran sedikitnya Rp133 triliun, terdiri dari anggaran belanja pemerintah akan dikurangi Rp65 triliun, dan dana transfer ke daerah hingga Rp68,8 triliun. Pemangkasan anggaran terutama ditujukan untuk aktivitas yang dinilai tidak menunjang program prioritas pemerintah.
Langkah pemangkasan itu akan segera dikoordinasikan dengan para menteri koordinator (menko) serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) untuk menyisir belanja Kementerian dan Lembaga (K/L) agar belanja pemerintah dapat dikurangi tanpa mengurangi komitmen pemerintah belanja prioritas.
Menurutnya, tidak akan memangkas belanja pembangunan infrastruktur, pendidikan dan anggaran kesehatan, karena itu merupakan program prioritas presiden.
"Tanpa mengurangi komitmen pemerintah untuk belanja prioritas yaitu, pembangunan infrastruktur, belanja pendidikan, tunjangan profesi guru, tunjangan belanja kesehatan tetap diprioritaskan sebagai hal yang akan dijaga untuk tidak dilakukan pemotongan. Namun kami akan melakukan penelitian dengan Bappenas dan Menko yang lain untuk bisa melihat scope efisiensi yang bisa dikurangi," katanya.
Dengan demikian, langkah Sri Mulyani Indrawati memangkas sejumlah anggaran tidak perlu ditakutkan oleh siapapun, khususnya lembaga yang hingga kini menerima dana PSO.
Pemangkasan dilakukan pada pengeluaran yang bersifat konsumtif seperti pertemuan atau studi banding ke berbagai negara yang selama ini terkesan lebih banyak wisatanya, jika tidak ingin disebut jalan-jalan semata.
Sebenarnya, tatkala Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, sudah merencanakan melakukan penghematan pengeluaran, namun ia tidak seberani Sri Mulyani, lantaran selama ini dinilai tidak punya kepentingan atau ketakutan termasuk memotong anggaran milik TNI dan Polri jika dinilai tidak rasional.
Sebagai seorang ekonom jebolan Fakultas Ekonomi UI, sistem ekonomi pasar yang sebagian besar diterapkan di Indonesia, menginginkan peran negara tidak terlalu banyak mengintervensi jalannya pasar, termasuk di dalamnya banyak memberikan subsidi kepada lembaga negara/BUMN. Itulah sebabnya, ia tampak berani menyampaikan pemangkasan anggaraan meskipun baru dua atau tiga hari dilantik presiden sebagai menteri keuangan. Misinya semata-mata mendisiplinkan anggaran agar lebih kredibel dan dipercaya para pelaku pasar.
Di Balik Pemangkasan
Di balik pemangkasan anggaran, Sri Mulyani tampaknya mempunyai tiga alasan kuat. Pertama, landasan hukum berupa Instruksi Presiden (Inpres) No 4 Tahun 2016 tentang Langkah Penghematan dan Pemotongan Belanja Kementerian/Lembaga Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2016.
Inpres yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 12 Mei 2016, berisi delapan diktum, antara lain pertama menginstruksikan Kementerian/Lembaga (K/L) mengambil langkah yang diperlukan sesuai tugas dan fungsinya, dalam rangka penghematan anggaran. Kedua, memetakan pemangkasan secara baik dan mandiri, termasuk melakukan bloking self, yakni jangan sampai anggaran sudah dicairkan sementara programnya sudah dikeluarkan. Ketiga, pemangkasan anggaran itu diutamakan di sektor paket meeting, honorarium tim/kegiatan, biaya rapat dan kegiatan yang dinilai tidak mendesak, dan Keempat, penegasan bahwa pemangkasan itu berasal dari sumber pajak, bukan hibah dan bukan dari penerimaan non pajak.
Alasan kedua, didasarkan pada fakta pemasukan pajak hingga akhir Mei 2016 baru mencappai Rp364,1 triliun atau baru sekitar 26,8 persen dari target APBN tahun ini. Bahkan jika dibanding pada periode sama tahun sebelumnya, kata Bambang Brodjonegoro kala itu turun sekitar 3 persen.
Pajak penghasilan pribadi yang selama ini menjadi andalan juga tercatat rendah, karena baru terhimpun Rp3,4 triliun dari pajak PPh pajak pribadi.
Perlambatan ekspor dan impor termasuk lemahnya perekonomian dunia juga menurunkan penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN). Penurunan pajak PPN selama lima bulan terakhir juga menunjukkan tingkat konsumsi di masyarakat turun sehingga berpengaruh pada pajak PPN.
Meskipun Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi optimis, target penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp1.343,1 triliun dapat terpenuhi menyusul diluncurkannya UU Tax Amnesty, menteri keuangan agaknya belum sepenuhnya percaya penerimaan pajak hingga akhir tahun dapat terpenuhi.
Sri mengatakan penerimaan pajak tahun ini diperkirakan meleset dari target dalam APBN-P 2016 sebesar Rp1.539 triliun. Agaknya realisasinya di bawah target. Dikatakan, terjadi tekanan yang berat terhadap target penerimaan pajak tahun ini jika melihat realisasi penerimaan pajak pada dua tahun terakhir.
"Itu dikarenakan basis perhitungan target penerimaan pajak pada tahun ini menggunakan angka ekonomi yang cukup tinggi, yaitu target penerimaan pada dua tahun sebelumnya." Sehingga untuk mendisiplinkan anggaran tak ada jalan lain kecuali harus dipangkas.
Alasan Ketiga, pemangkasan anggaran karena belum sepenuhnya yakin jika dalam waktu dekat akan ada dana repatriasi atau pemindahan dana dari luar ke Indonesia atas kepemilikan dana dari WP orang Indonesia. "Ada banyak WP yang belum memahami UU Tax Amnesty, sehingga di lapangan saya sering mendapatkan berbagai pertanyaan, karena mungkin masing-masing orang dapat menginterprestasikannya dari pasal yang sama," kata Sri Mulyani.
Dana repatriasi hingga pekan kedua pasca-UU Tax Amnesty, baru mencapai Rp458 miliar dari jumlah aset yang dideklarasikan atau dilaporkan sebesar Rp1,78 triliun. Itu baru masuk sekitar 0,046 persen.
Guna mendorong masuknya dana repatriasii, pihaknya sudah mengeluarkan berbagai skema investasi jasa keuangan agar para pemilik dana tidak merasa rugi jika membayar denda dan mengallihkan dananya yang kini masih berada di luar negeri.
Oleh karenanya, sebelum dana repatriasi masuk ke Indonesia, sebelum target pajak terpenuhi, selagi ada aturan yang memungkinkan untuk bertindak, pemborosan angggaran dari APBN dan penggunaan anggaran yang tidak tepat guna, akan dipotong oleh Sri Mulyani Indrawati.
Oleh Theo Yusuf, MS
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016