Jakarta (ANTARA News) - Setelah sekitar 35 menit duduk di dalam gerbong kereta "commuter line", seorang pemuda sebut saja Fulan memberi tempat duduknya kepada penumpang lain yang berdiri di sisi kiri terselang dua kursi dari tempatnya.
Fulan berdiri dengan menabrak dan mengambil tempat posisi Fulano, sebut saja begitu, pemuda lain yang berdiri di depannya.
Fulano menegur dengan menyatakan mengapa harus mengambil tempat posisinya. Keduanya beradu argumentasi dan bersitegang, menjadi perhatian para penumpang lain yang juga sedang berdesakan karena kondisi gerbong yang padat penumpang.
Ketegangan antarpenumpang seperti contoh tersebut kerap berulang dalam sarana angkutan umum tersebut.
Tidak ada ketentuan tertulis dari operator angkutan umum, PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) mengenai tata tertib bila menghadapi soal seperti itu.
Sejumlah ketentuan yang ada, misalnya, imbauan untuk memberi tempat duduk prioritas kepada penumpang penyandang disabilitas, lanjut usia, hamil, dan membawa balita.
Ada pula aturan yang mendahulukan penumpang turun bagi penumpang yang akan naik ke gerbong, larangan untuk duduk di lantai atau membawa kursi lipat, larangan membawa makanan dan minuman, binatang, bahan yang mudah terbakar, atau senjata tajam. Ada pula larangan bersandar di pintu kereta atau berdiri di sambungan antargerbong.
Bagaimana sebenarnya etika agar permasalahan di atas tidak terulang sehingga memberi tempat dengan mengambil tempat orang lain dapat dihindari.
Maksud Fulan memang baik untuk bergantian memberikan tempat duduknya kepada orang lain tetapi maksud tersebut menjadi mengganggu Fulano karena Fulan mengambil tempatnya.
Dalam sosiologi, kita memahami bahwa manusia adalah mahluk sosial yang selalu berinteraksi dengan individu lain. Dalam interaksi masyarakat itu terdapat norma sosial.
Norma sosial merupakan aturan perilaku dalam suatu masyarakat. Norma memaksa individu atau bertindak sesuai aturan sosial yang terbentuk. Norma disusun agar hubungan antarmanusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib, tidak dilanggar.
Norma sosial terdiri atas cara (usage) yakni bentuk perbuatan individu dalam suatu masyarakat, kebiasaan (folkways) bentuk perbuatan berulang-ulang dan mempunyai tujuan-tujuan jelas dan dianggap baik dan benar, tata kelakuan (mores) yakni perbuatan yang mencerminkan sifat-sifat hidup dari masyarakat guna melaksanakan pengawasan oleh sekelompok masyarakat terhadap anggota-anggotanya, berungsi sebagai alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut, adat istiadat (custom), dan norma hukum (law).
Norma sosial dibedakan menurut aspek tertentu yang saling berhubungan dengan aspek lainnya, seperti, norma agama, norma kesusilaan (peraturan sosial dari hati nurani sehingga seseorang dapat membedakan yang baik dan buruk), norma kesopanan, norma kebiasaan, dan kode etik.
Contoh kasus di atas menunjukkan bahwa Fulan memberikan tempat duduk kepada orang lain adalah sesuai dengan norma kesopanan dan kesusilaan namun dalam waktu bersamaan mengambil tempat orang lain tanpa permisi sekaligus melanggar norma tersebut.
Secara teoretis, ketegangan dalam contoh di atas dapat diatasi dengan toleransi dan berbesar hati.
Misalnya, Fulan menyampaikan permisi kepada Fulano untuk berdiri di tempatnya dan meminta kesediaan Fulano untuk bergeser, atau Fulan langsung mengambil tempat lain yang masih ada sela untuk ditempati, atau Fulano secara otomatis bertoleransi dengan bergeser meskipun tidak semua orang bersedia bergeser dari posisinya semula.
Pencetus Sosiologi Modern asal Prancis David Emile Durkheim (1858-1917) telah mengajarkan mengenai karakteristik fakta sosial dan solidaritas sosial.
Dalam fakta sosial, individu dipaksa, diarahkan, dan diyakinkan serta dipengaruhi berbagai tipe fakta sosial dalam lingkungan sosialnya. Fakta sosial mempunyai kekuatan memaksa yang karenanya mereka memaksa individu terlepas dari kemauan individu itu sendiri.
Fakta sosial itu merupakan milik bersama bukan sifat individu perorangan.
Dengan contoh kasus di atas, Fulan boleh saja mempunyai niat baik dengan memberikan tempat duduk kepada orang lain tetapi tidak bisa menempati posisi orang lain tanpa permisi.
Durkheim dalam bukunya "The Rules Of Sosiological Method", selain memberikan dasar-dasar metodologi dalam sosiologi, juga mengajarkan bahwa fakta sosial terhubung dengan fakta sosial lain, dan bisa jadi menghubungkannya dengan gejala individu seperti kemauan, kesadaran, dan kepentingan pribadi individu.
Dalam fakta sosial terkandung solidaritas sosial, yakni kesetiakawanan yang menunjuk pada satu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.
Solidaritas sosial yang dibangun secara mekanik (kesadaran kolektif bersama) atau secara organik (tingkat ketergantungan yang tinggi), dapat mencegah atau menghindari perilaku menyimpang individu, meskipun diawali dengan niat yang baik tetapi dalam prosesnya mengganggu orang lain.
Durkheim menghubungkan jenis solidaritas pada suatu masyarakat tertentu dengan dominasi dari suatu sistem hukum. Ia menemukan bahwa masyarakat yang memiliki solidaritas mekanis hukum seringkali bersifat represif.
Pelaku suatu kejahatan atau perilaku menyimpang akan terkena hukuman, dan hal itu akan membalas kesadaran kolektif yang dilanggar oleh kejahatan itu. Hukuman itu bertindak lebih untuk mempertahankan keutuhan kesadaran.
Sebaliknya, dalam masyarakat yang memiliki solidaritas organik, hukum bersifat restitutif. Ia bertujuan bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktivitas normal dari suatu masyarakat yang kompleks. Dalam masyarakat modern, masalah begitu kompleks.
Ada banyak peran dan cara untuk hidup sehingga membuat munculnya individualistik. Menurut Durkheim, ini merupakan dampak dari modernisasi. Bukan hanya kecenderungan individualis saja.
Namun dengan perubahan yang cepat dalam pembagian kerja membuat masyarakat bingung untuk menyesuaikan dirinya.
Bahkan hal ini mengakibatkan norma-norma yang mengatur mereka banyak yang dilanggar. Masyarakat cenderung antisosial atau sering disebut oleh Durkheim anomi. Anomi ini menyebabkan banyaknya terjadi penyimpangan.
Banyak contoh lain yang mirip dengan contoh kasus di atas, misalnya memberikan sumbangan dengan mengambil harta milik orang lain, memberikan berbagai kemudahan dengan membawa kesulitan bagi orang lain, dan memberikan izin bagi pembangunan wilayah komersial dengan menggusur tanah milik rakyat.
Kasus-kasus itu semestinya mengajarkan kepada kita bahwa niat baik harus dilakukan dengan cara-cara yang baik pula untuk mencapai hasil yang baik dan bukan justru mengimbulkan ketegangan atau bahkan konflik.
Oleh Budi Setiawanto
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016