Jakarta (ANTARA News) - Uang Rp2,5 miliar yang diambil dari kas PT Brantas Abipraya ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Tindak Pidana Khusus Kejati DKI Jakarta Tomo Sitepu.
Uang tersebut diberikan agar mereka dapat menghentikan pengusutan kasus dugaan tindak pidana korupsi di perusahan tersebut, demikian terungkap pada sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu.
"Saya belum tahu uangnya mau diserahkan ke siapa, karena kalau permintaan yang disampaikan ke Pak Dandung clear ya saya sampaikan ke Kejaksaan, ke Pak Tomo dan Pak Sudung," kata Marudut Pakpahan yang merupakan perantara pemberi suap dalam sidang di pengadilan Tipikor itu.
Marudut yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini menjadi saksi untuk dua terdakwa lain yaitu Direktur Keuangan dan Human Capital PT Brantas Abipraya Sudi Wantoko dan Senior Manager PT Brantas Abipraya Dandung Pamularno. Mereka didakwa menjanjikan uang ke Kajati DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Tomo Sitepu senilai Rp2,5 miliar. Uang tersebut untuk penghentian penyidikan kasus dugaan tindak pidana korupsi perusahaan tersebut yang sedang diusut Kejati DKI Jakarta.
Marudut tertangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 31 Maret 2016 di toilet pria Hotel Best Western Premier The Hive Jakarta Timur saat menerima uang pecahan dolar AS menjadi senilai 186.035 dolar AS atau senilai Rp2,5 miliar.
Uang tersebut diduga agar Sudung dan Tomo menghentikan penyelidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi penyimpangan penggunaan keuangan PT Brantas Abipraya yang dinilai merugikan keuangan negara senilai Rp7,028 miliar.
"Setelah terima uang, kok yang menghubungi Pak Tomo?" tanya jaksa penuntut umum KPK Abdul Basir.
"Karena saya tanya kelanjutannya bagaimana, Dia tanya saya jadi datang atau tidak ke kantor," jawab Marudut. Marudut ditangkap pada sekitar pukul 09.30, sedangkan Tomo menghubungi dirinya pada sekitar pukul 11.00 pada hari yang sama.
"Benar ada penyampaian Pak Tomo memang Pak Bos tidak ada di kantor?" tanya jaksa.
"Iya, tapi kan saya belum sampai (kantor Kejati DKI Jakarta)," jawab Marudut.
Marudut mengaku bahwa ia kenal Sudung saat Sudung menjabat sebagai Aspidsus di Surabaya, namun hal itu terbantahkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Marudut yang dibacakan oleh jaksa.
"BAP No 9, 21 dan 21, saudara di sini menyatakan pernah mengurus perkara di Bangka Belitung ke Sudung?" tanya jaksa KPK Kristanti Yuni Purnawanti.
"Mengurus perkara bukan dengan Pak Sudung tidak tapi langsung pak Hidayatullah, waktu itu Hidayatullah Kajati Bangka Belitung," ungkap Marudut.
"Di Belitung itu Dandung juga pernah meminta bantuan karena pernah diperiksa sebagai saksi lalu saudara menjawab Tenang ini teman saya , jadi memang ini terkait dengan PT Brantas?" tanya jaksa Yuni.
"Iya," jawab Marudut.
Dalam perkara ini, Sudi, Dandung dan Marudut didakwa dan diancam pidana dalam pasal 5 ayat 1 huruf a UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberatansan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau jo pasal 53 ayat 1 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta atau percobaan untuk melakukan kejahatan yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Namun hingga saat ini KPK belum menetapkan tersangka penerima suap.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016