"Wacana tersebut dilatari iktikad baik demi penguatan karakter siswa. Kita tentu sepakat bahwa manner do matters. Pembangunan karakter anak Indonesia harus dilakukan sebagai agenda tanpa henti untuk perbaikan kehidupan bangsa," kata Henny melalui pesan tertulis diterima di Jakarta, Rabu.
Henny mengatakan full day school memang sepintas menihilkan peran keluarga dan orang tua sebagai elemen mutlak keberhasilan pendidikan siswa sehingga muncul penolakan dari masyarakat.
Terhadap penolakan masyarakat dan rasa khawatir yang muncul, Henny mengatakan bisa dipahami. Namun, pada kenyataannya tidak bisa dibantah bahwa anak banyak yang masih diikutkan sekian banyak kursus sepulang jam sekolah sebagai konsekuensi kesibukan orang tua.
"Inisiatif orang tua untuk mengursuskan anak, terlepas dari baik dan buruknya, hanya bisa dilakukan oleh keluarga yang memiliki kemampuan finansial. Bagi keluarga dengan kemampuan keuangan sederhana, les atau kursus untuk anak masih menjadi barang mahal," tuturnya.
Baca Juga : "Full day school" berisiko matikan toleransi anak
Gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya berpeluang menjadi solusi atas kesenjangan tersebut, bahwa semua anak dari semua lapisan masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk mengasah diri dengan berbagai keterampilan baru melalui full day school.
Meskipun terkesan mendukung, Henny mengatakan full day school jangan sampai memberikan beban kognitif tambahan yang dapat memperletih siswa baik secara fisik maupun psikis.
"Full day school bukan penguatan akademis, melainkan wadah bagi siswa untuk menjadi insan unggul paripurna. Penilaian berbentuk pemeringkatan antarsiswa harus dihindari," katanya.
Baca Juga : Mendikbud siap hadapi ribuan petisi dalam wacana sekolah seharian
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016