Jakarta (ANTARA News) - Meski Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO) mengakui Tari Sang Hyang Dedari sebagai Warisan Budaya Dunia akhir tahun lalu, ritual itu nyatanya berada di ambang kepunahan.
Bahkan, warga Desa Bona, Gianyar, satu desa di Bali Selatan, diyakini sebagai wilayah asal Sang Hyang Dedari, tak lagi menarikan ritual sakral tersebut.
Keterangan itu disampaikan seorang tetua desa (pekak) yang ditemui di Sanggar Tari Paripurna, I Made Sijah beberapa waktu lalu.
"Ada dua tari di Desa Bona, Sang Hyang Dedari dan Sang Hyang Jaran. Dulu, keduanya masih ditarikan di pura, sekarang warga menarikan tari itu tetapi untuk tamu (turis)," ujar Sijah di Gianyar.
"Dulunya, beberapa kali ritual masih ditarikan saat odalan (hari raya) seperti Galungan dan Kuningan", katanya dalam bahasa Bali.
Meski demikian, saat ini Tari Sang Hyang Dedari kian langka, karena "taksu" (ketulusan) menjalankan ritual dianggap telah hilang.
"Bidadari-nya tak mau lagi melinggih (memasuki tubuh para penari), mungkin karena taksu-nya sudah tak ada", ujarnya tampak prihatin.
Situasi demikian juga menimpa warga Denpasar, wilayah yang dulunya sempat memiliki ritual Tari Sang Hyang Dedari.
Ni Ketut Arini, seorang maestro tari dari Desa Sumerta, Denpasar mengakui dirinya pernah menarikan Sang Hyang Dedari di banjar atau desa adatnya.
"Dulu sebelum mementaskan Legong, para penari mesti menarikan Sang Hyang Dedari terlebih dahulu", katanya saat ditemui di sanggar tari miliknya, Warini di Denpasar.
"Saya teringat banyak warga masih menarikan Tari Sang Hyang sekitar tahun 1960-an, ada banjar di Sanur yang menjalankan ritual tersebut".
"Saat ini memang tari itu jarang, bahkan tampaknya tak ditarikan lagi di Bali", ungkap perempuan yang kerap mengajar tari Bali di Jepang dan Amerika Serikat.
Namun, tarian itu ternyata sempat ditarikan oleh warga desa di Nusa Ceningan, pulau yang dapat disambangi dengan kapal dari Pantai Sanur, Denpasar.
Informasi itu didapat dari Made Suar, ketua Yayasan Wisnu, lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian budaya dan lingkungan.
Tarian itu sengaja "dihidupkan" kembali di Nusa Ceningan untuk meredakan konflik antarwarga, ujar Suar.
"Sekitar 2001 saya bersama Yayasan Wisnu mengajak warga desa menjalankan kembali ritual Tari Sang Hyang Dedari", katanya saat ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu.
Ia mengungkap, warga terlibat konflik akibat adanya investor yang ingin mengembangkan pariwisata tak berkelanjutan dan dinilai dapat mengancam mata pencaharian penduduk setempat yang sebagian besar adalah nelayan dan petani rumput laut.
Akhirnya, Sang Hyang Dedari, disebut warga setempat sebagai Sang Hyang Ukupan "diaktifkan" kembali guna meredakan ketegangan serta mengembalikan keseimbangan di masyarakat.
Jejak terakhir
Harapan terakhir upaya pelestarian Sang Hyang Dedari yang terancam punah ditemukan di Dusun Banjar (Br.) Geriana Kauh, Desa Duda Utara, Karangasem, Bali.
Warga setempat masih aktif menarikan ritual tersebut tiap "Padi Masa" menguning, yaitu sekitar awal Maret hingga April.
Kabar baik itu disampaikan oleh prajuru (pengelola) desa, I Wayan Bhrata, 56 tahun, bersama bendera (pemimpin) setempat, I Nengah Likub, 80 tahun.
"Warga desa adat (pakraman) Geriana Kauh masih menjalankan ritual Tari Sang Hyang Dedari sebagai ungkapan syukur untuk Dewi Sri serta untuk menolak bencana hama dan kekeringan", ujarnya saat ditemui di kediamannya beberapa waktu lalu.
Ia menjelaskan, ritual tersebut tidak dapat dilepas dari sawah yang menjadi lahan penghidupan penduduk setempat.
"Seluruh masyarakat kami, berjumlah sekitar 177 kepala keluarga (KK) adalah petani, sehingga sawah dan Sang Hyang Dedari merupakan hal yang tak dapat dipisahkan bagi para bapak dan ibu subak".
Meski demikian, ia mengaku tak mengetahui bahwa Sang Hyang Dedari di desa adatnya merupakan yang terakhir.
"Tentunya saya berharap tarian ini tidak punah, karena sebelumnya warga sempat tak menjalankan ritual beberapa puluh tahun yang lalu, dan kami telah merasakan akibatnya, sawah rusak, bahkan banyak warga meninggalkan desa", tuturnya.
Pelestarian
Upaya pelestarian yang "tak sadar" dilakukan warga Br. Geriana Kauh mesti didukung seluruh elemen masyarakat, khususnya pemerintah, akademisi, dan para budayawan.
Pasalnya saat ini, pihak pemerintah, khususnya peran petugas dinas terkait hanya sebatas mendata tarian sakral yang masih dijalankan warga.
"Tiap tahun orang dari dinas suka datang ke desa mendata tarian sakral atau benda pusaka apa yang masih ada", ujar Bhrata.
Beranjak dari hal itu, Saras Dewi, peneliti Tari Sang Hyang Dedari tengah berupaya membantu warga desa melestarikan ritual melalui pendirian museum dan laman guna memusatkan data terkait yang masih tercecer.
"Saya bersama tim tengah menginvetarisasi kembali beberapa temuan dan data hasil penelitian tentang Sang Hyang Dedari yang masih terpencar, beberapa informasi terkait bahkan saya temukan di Leiden, Belanda", ujar kepala peneliti Sang Hyang Dedari.
Ia berharap ke depannya dapat bekerja sama dengan pemerintah terkait guna melestarikan Tari Sang Hyang Dedari.
"Bagaimanapun, peran pemerintah dibutuhkan demi mempertahankan tarian ini", ujarnya.
Meski demikian, ia menambahkan, upaya pelestarian itu mesti dipikirkan secara cermat. Pasalnya, Sang Hyang Dedari merupakan tari sakral yang terhubung dengan tradisi pertanian warga.
"Artinya, jangan sampai ritual ini berubah komersil, dan keberadaan sawah menjadi poin penting pelestarian ritual. Perlu diketahui, hilangnya Sang Hyang Dedari di banyak daerah banyak disebabkan dua hal tersebut, komersialisasi tarian dan hilangnya sawah," ungkapnya.
(T.KR-GNT/A011)
Oleh Genta Tenri Mawangi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016