Rancangan peraturan melalui skema SIMP rencananya akan diberlakukan pada Agustus atau September 2016 ini. Kami minta semua pelaku usaha di bidang perikanan memperhatikan aturan ini dengan cermat,"

Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan meminta para pelaku usaha khususnya pada bidang perikanan untuk mencermati pemberlakuan "seafood import monitoring program" (SIMP) oleh Amerika Serikat yang rencananya akan diberlakukan pada September 2016.

"Rancangan peraturan melalui skema SIMP rencananya akan diberlakukan pada Agustus atau September 2016 ini. Kami minta semua pelaku usaha di bidang perikanan memperhatikan aturan ini dengan cermat," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Dody Edward, dalam siaran pers yang diterima, di Jakarta, Selasa.

Dody menyatakan pihaknya memantau secara ketat rencana pemberlakuan rancangan peraturan ekspor ikan ke Amerika Serikat (AS) melalui skema SIMP tersebut. Indonesia sangat berkepentingan terhadap aturan ini karena bisa berdampak pada kinerja ekspor perikanan nasional.

"US National Oceanic and Atmospheric Administration" (NOAA) adalah pihak mengusulkan rancangan peraturan "US SIMP" dan "US Commerce Trusted Trader Program".

Berdasarkan data BPS, ekspor produk perikanan Indonesia ke dunia pada 2015 tercatat mencapai 3,60 miliar dolar AS. Dari nilai tersebut, pangsa ekspor produk perikanan ke AS mencapai 40 persen atau tercatat sebesar 1,44 miliar dolar AS pada 2015.

Nilai tersebut mengalami penurunan 21 persen atau 0,39 miliar dolar AS dibandingkan tahun 2014 yang sebesar 1,83 miliar dolar AS.

Sementara pada periode Januari-Mei 2016 kinerja ekspor produk perikanan ke dunia mengalami peningkatan sebesar dua persen bila dibandingkan dengan Januari-Mei 2015, dari sebelumnya 1,52 miliar dolar AS menjadi 1,56 miliar dolar AS.

Beberapa negara tujuan ekspor utama Indonesia pada 2015 yaitu Amerika, Jepang, dan Inggris.

Skema SIMP yang diusulkan NOAA pada intinya mengatur tiga hal pokok. Pertama, pengklasifikasian "at-risk species" yaitu 17 spesies yang pernah tercatat sebagai hasil "Illegal Unreported Unregulated Fishing" (IUUF). Kedua, penerapan kewajiban "traceability" dan sertifikasi tangkap bagi at-risk species produk perikanan hasil tangkap maupun budi daya.

Ketiga, penyediaan informasi rantai pasok mulai dari kapal, lokasi tangkap/budi daya, alat tangkap, proses pengangkutan, pengolahan, sampai dengan proses ekspor.

Menurut Dody, peraturan tersebut harus dilihat secara cermat karena Amerika merupakan negara tujuan utama ekspor perikanan nasional.

Dody menjelaskan, ada tiga alasan spesifik mengapa aturan tersebut penting untuk dicermati semua pihak, yakni sebagian besar sebanyak 84 persen produk ekspor ikan dan produk ikan Indonesia dikelompokkan ke dalam kelompok at-risk species.

Kemudian, kewajiban traceability dan sertifikasi tangkap bagi at-risk species ini hanya diberlakukan bagi negara eksportir, sedangkan pelaku usaha lokal AS dibebaskan dari kewajiban tersebut, dan data rantai pasok mulai dari pelabuhan pengiriman (port of harvest) hingga pelabuhan destinasi (port of commerce) yang rencananya hanya dapat diakses Pemerintah AS.

"Ditjen Perdagangan Luar Negeri secara aktif terus mengikuti perkembangan dan berpartisipasi secara aktif dalam berbagai tahapan penyusunan rancangan peraturan ini agar tidak mengganggu ekspor perikanan nasional," ujar Dody.

Kemendag juga berkoordinasi dengan kementerian lembaga terkait dan asosiasi perikanan untuk membahas langkah-langkah antisipatif menghadapi pemberlakuan SIMP.

Beberapa upaya dilakukan, misalnya melakukan lobi ke dalam Indonesia-US MoU on Maritime Cooperation dan pelaksanaan "FAO Port State Measures Agreement".

Selain itu, Ditjen Daglu juga melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha perikanan agar memahami rencana pemberlakuan skema traceability tersebut.

Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016