Jakarta (ANTARA News) - Wacana akuisisi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), anak usaha PT Pertamina (Persero) di bisnis panas bumi, oleh PT PLN (Persero) berpotensi mematikan pengembangan energi baru terbarukan, khususnya di sektor panas bumi.
"Kita sudah susah payah mengembangkan panas bumi. Kalau benar-benar terealisasi, akan mematikan itu semua," kata Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia Abadi Purnomo saat berbicara pada diskusi "Percepatan Pengembangan Energi Panas Bumi untuk Mendukung Realisasi Proyek 35 Ribu Megawatt" di Jakarta, Selasa.
Menurut Abadi, sebagai suatu perusahaan yang memiliki portofolio, tentunya akan memilih sektor yang memberikan margin yang lebih besar.
Dengan memiliki pembangkit listrik yang lengkap, mulai dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap, hingga Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), PLN bisa jadi akan menghentikan pembangkit yang memberikan margin yang rendah.
"Kalau melihat dari sisi margin, tentu saya akan lebih cenderung menghidupkan yang murah. Yang mahal dihentikan. Ini pola pikir kalau ada portofolio yang lengkap," ungkap dia.
Abadi mengungkapkan panas bumi mempunyai reservoir. Jika satu dimatikan, seluruh sistemnya akan mati semua. Begitu dimatikan, akan butuh waktu dan biaya untuk menghidupkan kembali.
"Jika dimatikan, hilang dong investasinya. Jadi perlu keilmuan reservoir, bisa memang sewa orang, tapi itu nambah biaya lagi," kata dia.
Tidak hanya itu, Abadi menyoroti lemahnya pengelolaan PLTP oleh PLN selama ini. PLTP Kamojang Unit 1 yang dibangun pada 1992 selama ini hanya memasok uap ke PT Indonesia Power, anak usaha PLN. Namun, jika di luar negeri, PLTP yang sudah berusia 40-50 tahun masih beroperasi dengan baik, PLTP Kamojang Unit 1 justru saat ini dalam keadaan rusak.
Selain itu, PLTP Lahendong Unit 1 yang dioperasikan PLN juga dalam keadaan rusak. Itu semua hanya karena pengurangan biaya operasi. Menurut Abadi, perusahaan-perusahaan yang tertarik di bisnis panas bumi, sebagian besar adalah perusahaan minyak karena memiliki kesesuaian karakter dan kompetensinya di sektor hulu.
"Di dunia, perusahaan yang mengembangkan panas bumi seperti Chevron, yang bergerak di hulu. Di Indonesia demikian pula, ada Pertamina dan Supreme Energy yang notebenenya perusahaan migas. Jadi susah dimengerti keinginan PLN yang mau mengakuisisi Chevron dan PGE," katanya.
Direktur Panas Bumi Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yunus Saifulhak mengatakan rencana akuisisi PGE oleh PLN bukan hal yang mudah untuk direalisasikan. Apalagi yang memiliki kemampuan dalam pengembangan panas bumi adalah Pertamina.
"Tapi tentu itu domain Kementerian BUMN. Concern kami adalah bagaimana eksplorasi dipercepat, sehingga panas bumi bisa berkembang," ujarnya.
Sementara itu Sekretaris Perusahaan PGE, Tafif Azimudin mengatakan saat ini PGE tengah mengerjakan lima proyek panas bumi sekaligus, tiga di antaranya akan beroperasi tahun ini. Sisanya, akan beroperasi pada 2017.
"Baru PGE satu-satunya perusahaan di Indonesia, bahkan di dunia yang mengerjakan lima proyek panas bumi sekaligus. Kita memang diinstruksikan untuk seprogresif mungkin mengembangkan panas bumi oleh Pertamina," ungkap dia.
Menurut Tafif, PGE mendapat dukungan penuh dari induk usahanya, Perrtamina, dalam mengembangkan sektor panas bumi. Apalagi dengan infrastruktur dan kompentensi Pertamina di upstream (sektor hulu), operasional PGE sangat terbantu.
"Rig kita tinggal minta ke PDSI. Kita juga dapat dukungan dari Elnusa. Kita sangat kuat di upstream karena dapat dukungan penuh Pertamina, " katanya.
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016