Jakarta (ANTARA News) - Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) tidak diperlukan dalam proses rekonsiliasi rujuk Indonesia - Timor Leste karena komisi tersebut terlalu mencangkok pola pikir Barat yang menuntut pelaku kekerasan menyatakan pengakuan dan meminta maaf di depan umum. "Kalau yang disebut rekonsiliasi harus mengakui kesalahan dan menyatakan permintaan maaf secara terbuka seperti itu, lebih baik KKP dibubarkan saja, karena pola seperti itu tidak cocok dengan budaya ketimuran," kata Penulis Buku "Rekonsiliasi yang Tidak Tuntas, Duri Kemerdekaan Timor Timur", Peter Tukan, di Jakarta, Senin. Orang Timur, urainya, sangat sulit mengakui kesalahan dan meminta maaf di depan umum karena hal itu seolah dirasakan menelanjangi diri sendiri. "Orang Timur mempunyai kebiasaan menyelesaikan persoalan dengan duduk bersama secara adat. Mereka membentangkan tikar dan duduk dalam lingkaran persaudaraan sambil berbicara dari hati ke hati (biti bot Timoris -red)," kata Peter yang merupakan wartawan senior ANTARA yang selama beberapa tahun meliput di Timor Timur. Rekonsiliasi dengan cara mengakui kesalahan dan meminta maaf secara terbuka, menurut dia, justru akan memunculkan rasa malu di depan umum dan berujung pada sikap defensif (mempertahankan diri) yang tidak akan menghasilkan perdamaian. Rakyat kecil, khususnya mereka yang bermukim di perbatasan RI-Timor Leste, lebih membutuhkan proses rekonsiliasi yang berbasiskan nilai budaya setempat, karena hal itu dianggap dapat lebih cepat tuntas, menyentuh hati dan bermartabat. Dengan demikian, mereka akan secara cepat pula bergandengan tangan, bergotong-royong, membangun hidup bersama, menatap perekonomian bersama, mencari ikan di laut, beternak dan mengolah lahan secara bersama dalam semangat persaudaraan dan hidup bertetangga yang baik, ujarnya. "Realitas membuktikan bahwa begitu banyak kebutuhan sehari-hari seperti garam, minyak goreng, terigu, gula pasir dibeli rakyat Timtim di wilayah perbatasan dengan Indonesia," katanya. Rekonsiliasi antara keluarga-keluarga di Timtim dengan saudara mereka yakni pengungsi Timtim di perbatasan lebih banyak terjadi ketika mereka saling bertemu untuk memusyawarahkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, bukan saling menuntut permohonan maaf. "Rekonsiliasi juga terjadi ketika mereka saling berpelukan pada saat duduk bersama membicarakan urusan adat kelahiran, perkawinan dan kematian. Dan inilah adat ketimuran kita, yakni menyelesaikan permasalahan bersama melalui jalur adat," kata Peter Tukan. Peter menyatakan merasa pesimis KKP bisa berhasil dengan baik karena ia melihat lembaga ini hanya bekerja memenuhi "pesan sponsor " negara-negara tertentu yang ingin memporakporandakan hubungan bertetangga dan kekerabatan antara kedua negara. KKP dibentuk atas kesepakatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Timor Leste Xanana Gosmao pada 11 Agustus 2005 untuk mengungkap kejadian yang sebenarnya tentang konflik di Timor-Timur pasca jajak pendapat. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007