Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi menegaskan, Indonesia kini sulit diharapkan dapat berperan secara efektif sebagai penengah konflik di Timur Tengah. Sebab, kata Hasyim saat dihubungi dari Jakarta, Minggu, dengan mendukung resolusi Dewan Keamanan PBB No 1747 yang memberi sanksi pada Iran, maka Indonesia oleh kalangan berpengaruh di Timur Tengah dianggap tidak lagi netral. "Kalangan berpengaruh di Timur Tengah tidak lagi melihat Indonesia netral, independen, melainkan sebagai pendukung Amerika Serikat (AS)," kata Doktor Kehormatan Bidang Peradaban Islam itu. Kalangan berpengaruh yang dimaksud Hasyim adalah para ulama yang berada di lapangan yang justru bersentuhan langsung dengan konflik yang terjadi. Ia mencontohkan Nasrallah yang merupakan tokoh berpengaruh besar di Laskar Hizbullah di Libanon. Bahkan, pemerintah Lebanon tidak bisa "mengendalikan" dia. Jadi, lanjut Hasyim, jika pemerintah, khususnya Wapres Jusuf Kalla, berlega hati karena negara-negara Arab tidak mempersoalkan dukungan Indonesia pada resolusi yang memberi sanksi pada Iran, maka hal itu merupakan "kepuasan yang terburu-buru". Menurut Hasyim, ada beberapa alasan yang membuat negara-negara Arab yang tergabung di Liga Arab bersikap positif pada dukungan Indonesia. Pertama, anggota Liga Arab adalah negara. Dalam etika diplomatik, tidak mungkin negara-negara Arab itu memprotes secara terbuka sikap Indonesia. Bahkan, Iran sekalipun tetap menyatakan akan terus membina hubungan baik dengan Indonesia. Kedua, sejarah menunjukkan sesama negara Arab seringkali tidak akur yang disebabkan perbedaan kepentingan politik, ekonomi, dan pertimbangan praktis pragmatis lainnya. "Banyak negara Arab justru senang kalau tetangganya dapat musibah karena pertimbangan praktis, politis dan ekonomis. Karena itulah, negara-negara Arab tidak pernah menang," katanya. Contohnya, ketika AS dan sekutunya menyerang Irak, Arab Saudi dengan senang hati mengizinkan tentara agresor itu menggunakan wilayahnya sebagai pangkalan. "Nah yang menelepon saya mengungkapkan kekecewaan pada sikap pemerintah Indonesia adalah para ulama-ulama Timur Tengah. Karena antar ulama, pembicaraannya dari hati ke hati, jauh dari basa-basi politik," katanya. Menurut Hasyim, dampak yang segera dirasakan akibat Indonesia mendukung pemberian sanksi pada Iran akan terjadi pada pertemuan ulama Sunni-Syiah di Istana Bogor pada 3-4 April mendatang. Pertemuan yang diharapkan dapat menghasilkan solusi yang efektif dalam menghentikan konflik di Timur Tengah, mengingat yang diundang adalah ulama ilmiah dan ulama yang memiliki pengaruh di lapangan dari Sunni dan Syiah, kata Hasyim, hasilnya kemungkinan kurang seperti yang diharapkan. "Sampai hari ini yang bersedia hadir adalah kelompok Sunni ilmiah, yang Sunni konflik belum ada konfirmasi. Sedangkan yang Syi'ah komando maupun Syiah ilmiah tidak bersedia hadir kecuali mengirim peninjau untuk sekedar tahu, apa sih maunya Jakarta," katanya. Padahal, kata Hasyim, awalnya para ulama Sunni dan Syiah menyambut baik pertemuan tersebut. Hanya saja mereka mengajukan tiga syarat. Pertama, Indonesia benar-benar netral. Forum itu tidak semata untuk kepentingan Syi'ah maupun Sunni, tetapi ukhuwah islamiah, serta tidak dalam bayang-bayang Amerika Serikat atau Israel. Kedua, Indonesia harus punya akses ke PBB agar hasil pertemuan itu mendapat perhatian PBB. Ketiga, Indonesia juga harus serius dalam menyosialisasikan hasil pertemuan tersebut, tidak seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya yang diselenggarakan di berbagai negara yang ternyata tidak efektif. Setelah Indonesia mendukung resolusi DK PBB yang memberi sanksi pada Iran, kata Hasyim, maka syarat-syarat itu otomatis tak terpenuhi. Para ulama menganggap Indonesia telah berpihak. "Pertama kali yang tidak percaya tentu Iran dan ulama negara itu. Mereka pasti memberitahukan hal itu kepada kekuatan ulama-ulamanya yang berada di luar Iran, termasuk yang berada di daerah-daerah pergolakan," katanya.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007