"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat supaya memutuskan satu, menyatakan terdakwa Andri Tristianto Sutrisnatelah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi," kata jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi Fitroh Rohcahyanto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis.
Hal yang memberatkan, menurut dia, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan terutama Mahkamah Agung.
"Hal meringankan, terdakwa bersikap sopan, mengaku bersalah dan menyesali perbuatannya," tambah jaksa Fitroh.
Andri dinilai terbukti menerima Rp400 juta dari pemilik PT Citra Gading Asritama Ichsan Suaidi melalui pengacaranya Awang Lazuardi Embat agar mengusahakan penundaan pengiriman salinan putusan kasasi atas nama Ichsan Suaidi dalam perkara korupsi dalam Proyek Pembangunan Pelabuhan Labuhan Haji di Lombok Timur.
Penundaan pengiriman salinan putusan itu diharapkan membuat jaksa tidak bisa segera melakukan eksekusi sehingga mereka bisa mempersiapkan memori Peninjauan Kembali (PK).
Andri tidak sendirian mengurus perkara ini. Dia bekerja sama dengan Kosidah, pegawai Panitera Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung yang menjadi tempat menanyakan nomor putusan perkara Ichsan dan mendapat kepastian pengiriman salinan putusan kasasi Ichsan baru akan dilakukan tiga bulan ke depan.
Andri juga dinilai terbukti menerima gratifikasi Rp500 juta terkait sejumlah perkara Tata Usaha Negara dan tindak pidana khusus yang ditangani oleh pengacara bernama Asep Ruhiat di Pekanbaru, Riau.
"Walaupun ada perbedaan antara keterangan terdakwa dan Asep Ruhiyat mengenai jumlah penerimaan gratifikasi, tapi keduanya sama-sama mengakui ada pemberian dan secara logika mendekati nilai RPp500 juta," kata jaksa Arif Suhermanto.
Jaksa juga menilai perbandingan pendapatan dan pengeluaran Andri tidak wajar. Pendapatannya total Rp21 juta, lebih sedikit dari pengeluarannya tiap bulan yang sebesar Rp30 juta.
"Dan membeli mobil Toyota Altis sebanyak Rp300 juta, Nissan Juke Rp200 juta, Honda Mobilio secara tunai seharga Rp160 juta, mobil Ford jenis Ecosport secara tunai," kata jaksa Arif.
Terdakwa, ia melanjutkan, juga punya tiga unit rumah di San Lorenzo Gading Serpong Tangerang, rumah di Lippo karawaci Tangerang dan rumah di Malang.
Ia mengatakan sebelum menjabat sebagai Kepala Sub Direktorat, saat bekerja di bagian humas, terdakwa sudah menerima sejumlah uang terkait pengurusan perkara.
"Terdakwa juga mengakui bahwa pembelian rumah dan mobil sebagian berasal dari uang-uang pengurusan perkara sebagai penghasilan yang tidak sah," katanya.
Sesuai ketentuan, Andri seharusnya melaporkan penerimaan gratifikasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal menerima gratifikasi.
Tapi selama September-November 2015 dia tidak melaporkan penerimaan gratifikasi berupa uang dengan nilai keseluruhan Rp500 juta ke KPK sesuai aturan.
"Terdakwa maupun Asep Ruhiyat juga mengakui pemberian uang itu terkait dengan penanganan sejumlah perkara yang ditangani oleh Asep, yang meminta kepada terdakwa untuk melakukan pengkondisian di tingkat kasasi dan peninjauan kembali pada MA sehingga jelas gratifikasi itu adalah suap," tambah jaksa Arif.
Selain perkara-perkara yang diminta oleh pengacara Asep Ruhiyat, terdakwa juga "mengurus" perkara-perkara lain di tingkat kasasi maupun Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.
Andri dijadwalkan menyampaikan pembelaan pada 11 Agustus 2016.
"Saya berserah diri saja, berserah diri saja yang sabar, nanti dari pengacara saya yang bikin pembelaan, saya sepasrah-pasrahnya saja," kata Andri tentang tuntutan yang diajukan jaksa.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016