Nunukan,Kalimantan Utara, (ANTARA News) - Kehidupan masyarakat di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, tidak ubahnya kehidupan masyarakat di kota-kota lain pada umumnya.

Aktivitas bekerja, kegiatan pendidikan, kegiatan perekonomian, mulai ramai dilakukan sejak pukul 06.00 WITA.

Masyarakat di Kalimantan Utara yang multietnis, dapat hidup harmonis, rukun secara berdampingan. Nuansa kegotongroyongan tampak masih kental dilakukan warga sekitar tanpa perlu membeda-bedakan suku, agama, ras dan antargolongan.

Namun dibalik kehidupan itu, sayup terdengar suara harapan masyarakat yang konon sudah bergaung puluhan tahun silam. Harapan atas penetapan ratusan ribu hektare tanah moyang mereka di perbatasan agar menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia seutuhnya.

Beberapa wilayah di perbatasan Kalimantan Utara seperti di Pulau Sebatik, desa-desa di bantaran Sungai Sinapad dan Sungai Sumantipal, titik B.2700-B.3100 (Lumbis Ogong) dan titik C.500-C.600 yang jauh dari pusat kota Kabupaten Nunukan, saat ini masih menjadi lahan sengketa atau outstanding boundary problems (OBP) antara Indonesia dengan Malaysia.

Kedua negara masih terus berunding soal tapal batas negaranya masing-masing. Hasilnya masyarakat di wilayah sengketa masih harus gigit jari soal siapa negara pemilik tanah kelahirannya.

Secara de facto, kehidupan mayoritas masyarakat di wilayah OBP merujuk pada bingkai NKRI. Penggunaan bahasa, adat istiadat hingga penetapan nama wilayah masih lekat dengan Indonesia, bahkan pembangunan jalan dan perumahan lebih dulu dilakukan pemerintah Indonesia.

Persoalan hadir ketika melihat fakta banyaknya masyarakat di perbatasan terpaksa mengakses kegiatan perekonomian dan sarana kesehatan ke negara seberang.

Jauhnya akses ke kota pusat kabupaten di Nunukan menjadi alasan masyarakat perbatasan memilih berinteraksi dengan Malaysia.

Ketua Pemuda Penjaga Perbatasan Kalimantan Paulus Murang mencontohkan dari Desa Sumantipal di Sungai Sumantipal, Kalimantan Utara menuju ke pusat kota Nunukan membutuhkan waktu tiga jam perjalanan menyusuri sungai dan harus menggunakan ketinting atau perahu kayu dengan dua mesin motor untuk memecah jeram di sepanjang sungai.

Biaya perjalanan pulang pergi dengan ketinting bisa mencapai lebih dari Rp5 juta untuk kepentingan membeli solar dan menyewa ketinting, karena tidak semua warga perbatasan mampu membeli perahu beserta mesinnya.

Sedangkan untuk alternatif jalur darat sangat tidak mungkin dipilih warga karena harus berjalan kaki membelah hutan sepanjang 155 kilometer.

Sehingga warga memilih berinteraksi dengan Malaysia, sebab dari Desa Sumantipal ke Sabah, Malaysia, hanya memerlukan waktu satu jam perjalanan dengan perahu ketinting.

Apalagi, otoritas Malaysia kerap memanjakan masyarakat Indonesia di perbatasan dengan kemudahan pembuatan kartu identitas Malaysia, serta adanya layanan kesehatan gratis bagi warga perbatasan.

Menurut Paulus, langkah "kekeluargaan" yang ditempuh Malaysia terhadap masyarakat perbatasan merupakan upaya negeri jiran mengklaim wilayah sengketa menjadi miliknya.

Skenarionya, ketika perundingan antarpemerintah kedua negara tidak menghasilkan kesepakatan, maka persoalan akan dibawa ke ranah mahkamah arbritase internasional. Dengan kemudahan akses yang diperoleh masyarakat perbatasan dari Malaysia, tidak menutup kemungkinan masyarakat terpaksa memilih menjadi warga Malaysia demi melanjutkan hidup dan mahkamah arbritrase akhirnya memenangkan sengketa lahan kepada Malaysia.

Sebagai orang yang telah makan asam garam menjaga perbatasan belasan tahun, Paulus tak sudi wilayah sengketa menjadi milik Malaysia.

NKRI harga mati.

Paulus mengatakan Malaysia memang mulai resah ketika mengetahui adanya pembangunan rumah penduduk dan jalan di Sumantipal dan Sinapad oleh pemerintah Indonesia dalam dua tahun terakhir.

Wakil Menteri Malaysia sampai menyempatkan diri hadir melakukan peninjauan ke dua wilayah tersebut guna merencanakan pembangunan serupa. Misi politik Malaysia adalah turut menyelenggarakan pembangunan 28 desa di sepanjang Sungai Sumantipal dan Sinapad seluas 154.000 hektare. Tak ayal isu Malaysia akan segera mengklaim 28 desa di Kalimantan Utara bising diberitakan media lokal di Kaltara.

Paulus menjelaskan tidak ada yang bisa melarang Malaysia melakukan pembangunan di wilayah sengketa sebab wilayah Sungai Sumantipal dan Sinapad merupakan wilayah yang diserahkan Belanda kepada Inggris sekitar tahun 1930.

Oleh karena itu, Paulus menyerukan pemerintah pusat agar meneruskan pembangunan wilayah perbatasan, sesuai dengan keinginan Presiden Jokowi melaksanakan pembangunan daerah dari pinggiran.

Dia meminta pemerintah membangun perkebunan agar tercipta lapangan kerja bagi warga sekitar, serta melanjutkan pembangunan perumahan, sarana pendidikan dan infrastruktur jalan menuju kota terdekat.

Tokoh Desa Sumantipal, Apuwsiaw mengatakan pemerintah tidak perlu membangun pagar beton untuk mencegah warga perbatasan beralih ke Malaysia. Pemerintah hanya perlu membangun pagar kehidupan, sehingga warga bisa mudah menjalani kehidupan sebagai seorang warga negara Indonesia seutuhnya.

Warga lain dari Kelompok Labang di Desa Sumantipal, Kaltara, Juli mengungkapkan sebagian masyarakat di wilayahnya memiliki kartu identitas ganda, baik dari Indonesia maupun Malaysia.

Meskipun demikian Juli menekankan seluruh warga di Sumantipal tetap menginginkan menjadi warga negara Indonesia seutuhnya karena mereka dididik dan dibesarkan di Indonesia.

Juli menekankan warganya tidak ubahnya sebuah tugu negara Indonesia yang menjadi benteng terakhir perbatasan NKRI di Kalimantan Utara. Dia berharap pemerintah serius memperhatikan warga perbatasan.

Perencanaan pembangunan

Kepala Bidang Perencanaan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Makmur Marbun mengatakan selama ini pihaknya telah merumuskan rekomendasi perencanaan pembangunan di seluruh daerah perbatasan termasuk di Kalimantan.

Hasil rekomendasi pembangunan wilayah perbatasan diserahkan kepada kementerian dan lembaga terkait serta ditembuskan ke istana kepresidenan, dengan harapan rekomendasi tidak sekadar menjadi angan semata.

Menurut Marbun, persoalan pembangunan wilayah perbatasan harus diambil alih oleh pemerintah pusat, sebab pembangunan oleh pemerintah daerah seringkali terbentur kepentingan politik.

Pemda hanya melaksanakan pembangunan di wilayah yang penduduknya banyak, guna kepentingan perolehan suara pemilu, dan wilayah yang berpenduduk banyak adalah di pusat kota seperti Nunukan dan Tarakan saja.

Sementara di wilayah perbatasan yang jumlah penduduknya sedikit akhirnya minim pembangunan.

Dalam kunjungan kerja BNPP beserta Komisi II DPR, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke Kalimantan Utara, Rabu (3/8), Marbun beserta rombongan kembali mencoba merinci kebutuhan pembangunan wilayah perbatasan.

Di wilayah kecamatan Lumbis Ogong (satu jam sebelum mencapai Desa Sumantipal) hanya terdapat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.

Anak yang ingin menempuh pendidikan menengah atas terpaksa harus menumpang ketinting menuju pusat Kabupaten Nunukan dengan biaya selangit.

Selain itu dari total jumlah penduduk di lima lahan sengketa di Pulau Sebatik, Sungai Sinapad, Sungai Sumantipal, titik B.2700-B.3100 (Lumbis Ogong) dan titik C.500-C.600 yang mencapai 5.000 jiwa, tenaga medisnya hanya berjumlah dua orang dengan sarana kesehatan sangat minim.

Dengan buruknya sanitasi perumahan di kawasan perbatasan, maka penyakit seperti diare dan penyakit kulit biasa dihadapi masyarakat perbatasan khususnya anak-anak.

Ada pun permasalahan lain yang mudah dijumpai di lima lahan sengketa adalah buruknya jaringan telekomunikasi dan belum adanya jalan darat menuju pusat kota.

Staf Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Yuda Sandi Utama, yang hadir dalam kunjungan kerja itu menerangkan, pihaknya telah melakukan pemetaan pembangunan jalan darat dari Kecamatan Mensalong di Nunukan ke Tau Lumbis (dekat desa Sumantipal) yang mencakup 155 kilometer.

Dari total panjang wilayah itu sejauh ini baru 22 kilometer yang berhasil dilakukan pembukaan lahan, dan baru dua kilometer diantaranya yang sudah berhasil dilakukan pengaspalan. Sedangkan sisanya masih berupa hutan tropis dan tanah adat.

Yuda mengatakan untuk melanjutkan pembangunan jalan darat dibutuhkan alokasi dana untuk tahun anggaran 2017. Untuk tahun ini anggaran belum teralokasi lantaran pada 2015 pembukaan lahan mengalami kendala adanya tanah adat.

Dia meminta seluruh kepala adat membantu mengeluarkan surat dukungan pembangunan jalan darat guna memudahkan masyarakat mengakses jalan ke pusat Kota Nunukan.

Pemekaran wilayah

Sementara itu sejumlah etnis yang hidup di Kalimantan Utara sudah lama mengusulkan pembentukan daerah otonomi baru Kabupaten Bumi Dayak (DOB Kabudaya) Perbatasan, sebagai solusi pembangunan di wilayah perbatasan.

Menurut anggota presidium pembentukan DOB Kabudaya Perbatasan, Lubis, dengan pembentukan DOB Kabudaya maka masyarakat perbatasan tidak perlu lagi jauh-jauh pergi ke pusat Kabupaten Nunukan untuk berbelanja kebutuhan pokok, sebab Kabupaten Bumi Dayak Perbatasan lambat laun akan menjadi pusat kota tersendiri.

Selain itu, pembentukan DOB Kabudaya akan mendorong lahirnya putra daerah perbatasan yang bisa duduk di lembaga eksekutif dan legislatif guna mewakili langsung suara masyarakat perbatasan.

Sebagai wujud keseriusannya mendorong pembentukan DOB Kabudaya, seluruh etnis di Nunukan secara bersama-sama menyepakati ikrar pembentukan DOB Kabudaya yang isinya antara lain; Kami etnis yang tergabung dalam DOB Kabudaya Perbatasan, siap mewujudkan Nawacita, siap menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah DOB Kabudaya dalam bingkai NKRI, serta memohon pembentukan DOB Kabudaya menjadi prioritas pemerintah pusat demi NKRI dan nasionalisme.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar Hetifah Sjaifudian menyatakan pembentukan DOB Kabudaya akan membuat kesejahteraan dan pelayanan publik masyarakat perbatasan meningkat. Hetifah berjanji membawa aspirasi itu ke DPR RI untuk dipertimbangkan bersama dengan fraksi-fraksi lain di parlemen.

Sementara itu, hingga segala harapan masyarakat perbatasan dapat terwujud, tampaknya jerit sunyi di wilayah tapal batas Indonesia masih akan terus terjadi.

Jerit sunyi masyarakat perbatasan bukan lah jerit suara lantang yang penuh bising.

Jerit sunyi masyarakat perbatasan muncul dalam wujud senyum ramah warga Lumbis Ogong, Sungai Sumantipal, hingga Sungai Sinapad di perbatasan.

Jerit itu hadir dalam binar mata anak-anak balita perbatasan Kalimantan Utara-Sabah yang gembira setiap ada tamu dari kota datang ke desa mereka.

Jerit itu pun sunyi termakan derasnya arus sungai dan tingginya lereng-lereng bukit yang mengiringi perjalanan ratusan kilometer menuju pusat kota menggunakan ketinting.

Oleh Rangga Pandu Asmara Jingga
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016