Nusa Dua, Bali (ANTARA News) - Mantan Wakil Presiden Boediono mengatakan bank sentral memiliki peran terhormat ketika menjadi lini terdepan ekonomi Indonesia, sewaktu terjadi krisis finansial Asia 1997-1998 dan krisis keuangan global 2008.
"Bank sentral memiliki pekerjaan terhormat dan menjadi lini terdepan ketika krisis finansial menghantam negeri ini," kata Boediono saat memberikan pidato dalam seminar internasional bersama di Nusa Dua, Bali, Senin.
Seminar internasional bersama Bank Indonesia dengan Federal Reserve Bank of New York ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan Pertemuan Eksekutif Bank Sentral Asia Timur dan Pasifik (EMEAP) ke-21.
Boediono mengatakan tugas bank sentral sebagai garda terdepan tersebut sangat berat karena krisis itu hampir mengganggu kegiatan perekonomian nasional secara keseluruhan.
"Kalau melihat ke belakang, saya tergoda untuk mengatakan bahwa pekerjaan sebagai bank sentral sangat berat, bahkan lebih berat dari jabatan wakil presiden," kata Boediono berseloroh.
Boediono yang pernah berkarir sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia pada 1997 menambahkan ada lima pelajaran penting bagi bank sentral yang bisa diambil dari penanganan dua krisis tersebut.
Pelajaran pertama adalah datangnya krisis yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak bisa diprediksi sebelumnya, sehingga perlu pengetahuan memadai mengenai penanganan krisis.
"Meskipun keduanya terjadi secara tiba-tiba, namun kita tidak memiliki antisipasi dalam menghadapi krisis 1998. Konsekuensinya, Indonesia terkena dampak paling parah dan membutuhkan waktu lama untuk pulih," katanya.
Pelajaran kedua, kata dia, mengenai pentingnya respon yang tepat sebelum menghadapi krisis agar tidak memberikan pesan yang salah.
"Pada 1998, banyak data maupun informasi salah yang beredar, sehingga kebijakan yang diambil tidak tepat sasaran, meski kemudian kebijakan itu dikoreksi. Pada 2008, respon tepat dilakukan sejak awal, sehingga dampaknya minimal dan ekonomi cepat pulih," ujar Boediono.
Pelajaran ketiga, tambah dia, ketika terjadi krisis jangan terlalu mengharapkan koordinasi antar instansi akan berjalan mulus.
"Terdapat kecenderungan mereka akan saling melempar tanggung jawab dan ketika mengambil keputusan terkesan meminimalkan risiko politik, karena takut menjadi target bila kebijakan itu salah," ujar mantan Gubenur Bank Indonesia ini.
Pelajaran keempat, pengalaman dalam mengambil kebijakan sangat penting terutama ketika terjadi krisis, tapi sangat sedikit pemimpin yang berpengalaman dalam menghadapi kondisi serupa.
"Ketika krisis pertama, tidak ada yang pernah mengalami pengalaman krisis sebelumnya, sehingga kebijakan diambil berdasarkan pengalaman internasional dari lembaga multilateral. Pada krisis kedua, kami mulai belajar dari krisis sebelumnya," kata Boediono.
Pelajaran kelima, kata dia, pentingnya dukungan iklim politik yang kuat untuk implementasi kebijakan ekonomi yang lebih efektif.
"Pada krisis kedua, politik dalam kondisi yang lebih baik dari 1998, sehingga dalam kurun waktu sembilan bulan ekonomi dalam kondisi on track," ujar mantan Menteri Keuangan ini.
Pewarta: Satyagraha
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016