Jakarta (ANTARA News) - Setelah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, termasuk Inggris, Prancis, Belanda dan Jerman, novel karya Leila S. Chudori, "Pulang" juga melancong ke sejumlah negara, diantaranya Jerman dan Amerika Serikat.
"Kalau saya boleh membandingkan sedikit, audience Jerman itu serius sekali, mereka sangat serius dan intens banget," kata Leila mengawali cerita, dalam diskusi sastra usai pementasan Sukreni Gadis Bali, di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Minggu.
Perempuan yang senang bergurau itu mengaku canggung. Untuk membuat para hadirin lebih santai, dalam kunjungannya di kota keempat Leila bahkan mengusulkan kepada panitia untuk menukar susunan acara.
"Saya bilang kita balik saja, acara minum wine dulu supaya mereka rileks baru kita ngobrol, tapi ternyata masih serius juga, karena memang sudah karakter orang-orangnya," ujar dia.
Dia juga kaget ketika mengetahui bahwa pengunjung harus membayar 8 hingga 12 Euro untuk menghadiri acaranya yang digelar di art center dan toko buku, di beberapa kota di Jerman dan Switzerland.
"Duh, itu tiketnya sampai saya foto, belum pernah begitu, saya bicara terus orang masuk bayar. Di sini kita biasanya gratisan," kata jurnalis Tempo itu.
Meski Indonesia tidak memiliki hubungan sejarah dengan Jerman, namun Leila mengatakan para pembaca di Jerman merasa memiliki hubungan emosi di masa lalu.
"Karena mereka juga pernah mengalami NATZI dan sebagainya. Memang enggak mirip, tapi mereka juga merasakan penderitaan orang-orang yang diceritakan di novel tersebut," ujar Leila.
Sementara itu, dalam kunjungannya ke beberapa kota seperti Texas, Los Angeles, Seattle dan New York, dia menilai, pembaca di Amerika Serikat lebih asyik. "Very casual," sebut dia.
Leila mengatakan sebagian besar sudah tahu tentang peristiwa '65. Bahkan, novel "Pulang" menjadi bacaan wajib untuk murid kelas 11 di salah satu sekolah privat di Dallas.
Dalam diskusi yang yang dihadiri murid kelas sejarah dan kelas sastra itu, rata-rata pertanyaan yang dilontarkan mengenai seberapa jauh Amerika terlibat dalam hal tersebut.
"Enggak sekedar apa sih yang terjadi, tapi sampai "Ini kok sepertinya pertentangan militer ya", sampai sedalam itu, saya pikir kok jangan-jangan mereka jadi jauh lebih tahu dari pada anak-anak sekolah di Indonesia," kata Leila.
"Jadi, Amerika lebih manju pengetahuannya sehingga diskusinya jadi lebih ke sejarahnya, kalau di Jerman saya masih tahap pengantar tapi mereka serius sekali," tambah dia.
Pewarta: Arindra Meodia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016