Jakarta (ANTARA News) - Sri Mulyani Indrawati mulai 27 Juli 2016 kembali diangkat sebagai menteri keuangan oleh Presiden Joko Widodo setelah hijrah ke negara Paman Sam sebagai Managing Director and COO World Bank.
Kembalinya Mbak Sri, panggilan akrab sehari-hari di kalangan pers pada 1980an, tidaklah mengejutkan karena jauh sebelumnya, tatkala Joko Widodo dilantik sebagai Presiden, sudah mewacanakan untuk melibatkan tim ekonominya ke dalam pemerintahannya.
Namun tampaknya kala itu dia belum siap ikut bergabung lantaran masih ada kekhawatiran situasi politik dan hukum belum ramah kepadanya, khususnya terkait kasus Bank Century.
Saat ini tampaknya Sri Mulyani sudah merasa yakin dengan perkembangan politik dan hukum nasional, sehingga ia berkenan "pulang kampung" ingin bergabung dengan Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Di antara tugas yang dibebankan kepadanya adalah mengurangi kesenjangan ekonomi antardaerah, membuka lapangan kerja seluas-luasnya, dan menekan jumlah kemiskinan yang saat ini sudah lebih dari 28 juta atau sekitar 11 persen dari jumlah penduduk Indonesia.
Dalam pengantar sebelum melantik para menteri, Presiden Joko Widodo mengatakan perombakan kabinet tersebut dilakukan untuk menjawab tiga masalah pokok saat ini yaitu kemiskinan, kesenjangan antara orang kaya dan miskin, dan kesenjangan antarwilayah.
"Inilah masalah yang dipercepat penyelesaiannya. Kita harus perkuat ekonomi nasional menghadapi ekonomi global, dunia yang sedang melambat, dan sekaligus persaingan ekonomi," kata Presiden saat mengumumkan perombakan Kabinet Kerja yang didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Negara Jakarta, Rabu.
Jokowi menekankan, "Saya menyadari tantangan terus berubah dan membutuhkan kecepatan dalam bertindak dan memutuskan."
Pidato yangh disampaikan Presiden tak sampai 30 menit itu agaknya tidak khusus ditujukan ke Sri Mulani Indrawati. Namun faktanya pasar saham dan pasar uang mengapresiasi keberadaan wanita berkaca mata dan mahfum terhadap perekonomian nasional dan global itu sehingga bagi Sri Mulyani mewujudkan harapan presiden tidaklah terlalu sulit.
Komentar positif juga disampaikan kolega dekatnya sama-sama alumni FE Universitas Indonesia yang kini sebagai Rektor Univ Paramadina, Firmanzah.
Firman menilai Sri Mulyani yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan dan menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mempunyai reputasi internasional dan memiliki predikat baik.
"Perekonomian dunia sedang mengalami pelambatan. Pelambatan ini juga dipastikan berdampak pada perekonomian Indonesia. Untuk meminimalisir gejolak ini, Indonesia wajib memiliki seorang menteri keuangan yang berpengalaman guna menangani persoalan tersebut, dan Sri Mulyani adalah orang yang tepat," katanya.
Firman juga tidak menyembunyikan kemungkinan akan terjadi konflik internal dalam kabinet Jokowi - JK itu. "Meskipun dalam jangka pendek pasar mengapresiasi perombakan kabinet jilid kedua, duet Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak mudah bisa langsung mengatasi pertumbuhan ekonomi sebab Sri Mulyani nantinya harus menjalankan program yang sudah ada seperti tax amnesty serta kesepakatan APBN 2016 yang sudah diketuk di DPR dan RAPBN 2017 yang sudah lama disusun oleh para menteri sebelumnya. Dilihat dari sisi APBN ia tak akan banyak berpengaruh," katanya.
Di luar penilaian pengamat, pasar mengapresiasi hadirnya Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Sekadar contoh, harga saham baik saham milik BUMN maupun swasta terus menggeliat usai Presiden melantik beberapa menteri termasuk didalamnya Sri Mulyani Indrawati. Harga saham Telkom misalnya, menjadi Rp4.340 per saham atau naik 90 poin dari sebelumnya Rp4.250 per saham, Bank Mandiri (BMRI) menjadi Rp10.100 dari Rp9.850 per saham atau naik 250 poin, dan Wika saham infrastruktur naik 150 poin menjadi Rp3.020, dari Rp2.870 per saham.
Saham milik swasta seperti Gajah Tunggal dan Medco mengalami kenaikan meskipun tidak seperti saham milik BUMN. GJTL naik menjadi 1.540 dari Rp1.470 atau naik 70 poin per sahamnya, sedang Medco, naik 55 poin menjadi Rp1.705 dari Rp1.650 per sahamnya. Dengan naiknya beberapa saham khususnya BUMN, Indeks Harga Saham Gabungan ( IHSG) di Bursa Efek Jakarta ditutup pada level 5,274.36 poin dari sebelumnya 5,225,36 poin.
Penutupan pasar uang pada Rabu (27/7) rupiah juga mengalami penguatan dari Rp13.175 menjadi Rp13.116 per dolar AS atau menguat Rp59 per dolar AS.
Apakah adanya penguatan IHSG dan rupiah semata-mata dampak dari hadirnya Sri Mulyani Indrawati sebagai Menteri Keuangan ? Sulit untuk dijawab, namum fakta menunjukkan perombakan kabinet itu dalam jangka pendek ada sentimen pasar positif, meskipun belum ada uang masuk dari dana repatriasi yang konon kabarnya mencapai Rp165 triliun.
Itulah sinyal pasar, di mana Sri Mulyani dalam membuat kebijakan ekonomi keuangannya dinilai tidak akan merugikan para pelaku pasar, karena selama ini ia dikenal seorang ekonom penganut pasar bebas, ramah dengan pasar.
Harapan Masa depan
Dr Sri Mulyani Indrawati yang lahir di Tanjung Karang, Lampung, 26 Agustus 1962 pernah digadang menjadi Presiden Indonesia oleh politisi seperti Prof Dr Arbi Sanit dan Wimar Witoelar dan sejumlah simpatisan lainnya.
Tahun 2014 merupakan periode ketiga kalinya dalam melaksanakan Pemiluan Presiden (Pilpres) secara langsung, di mana waktu itu Susilo Bambang Yudhoyonio tidak lagi dapat dipilih oleh rakyat karena ketentuan undang-undang.
Para politisi dan simpatisan Sri Mulyani menggagas membuat ormas yang kemudian menjadi Partai, SRI (Serikat Rakyat Indonesia) yang dideklarasikan mwnjelang Pilpres di Mal Taman Anggrek Jakarta Barat. Partai itu kini tak lagi tampak berkibar seperti halnya Partai Nasdem yang dinahkodai oleh Surya Paloh.
Sebuah sumber menyebutkan, Partai Nasdem dan Partai SRI awal kelahirannya sama-sama, namun Partai SRI mengalami kesulitan dalam menambah jumlah anggota dan mengembangkan kantor cabang di berbagai daerah karena UU mewajibkan ada perwakilan sekretariat partai di beberapa provinsi di seluruh Indonesia.
Jika Wimar Witoelar dan Arbi Sanit pernah "memimpikan" orang seperti Sri Mulyani menjadi tokoh Indonesia di masa depan, hal itu mungkin dapat saja terwujud. Bukan hanya ia cukup dikenal di dunia internasional, karena pernah masuk salah satu dari 100 wanita di dunia yang paling berpengaruh. Bahkan Majalah Forbes 2008 di Singapura pernah menobatkannya sebagai wanita Indonesia berpengaruh kedua setelah SBY.
Kini wanita mengendalikan atau menjadi pemimpin suatu negara, tampaknya sedang melambung. Di AS Hillary Clinton sedang bertarung mengalahkan Donald Trum dari dari Partai Republik. Di Jerman, muncul tokoh wanita Angela Mercel sebagai Kanselr Jerman, begitu juga di Inggris pascaBrexit muncul Theresa May, sebagai Perdana Menteri, Delma Roesseff muncul sebagai Presiden Brazil.
Dengan demikian, jika ada gagasan Sri Mulyani menjadi tokoh harapan masa depan bangsa Indonesia, tidaklah aneh asal tidak ada "politik hukum" yang akan menghukum dirinya seperti mengungkit kasus Bank Century, menjadi tangung jawabnya.
Kalau kita sepakat adagium lama, setiap masa punya waktu, dan setiap waktu punya tokoh maka tokoh masa depan mungkin saja Sri Mulyani Indrawati.
(Y005/N002)
Oleh Theo Yusuf Ms
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016