Jakarta (ANTARA News) - Mengenal dunia karate dari kawasan Balige, Danau Toba, Sumatera Utara, Donny Dharmawan memupuk asa menjadi karateka yang bisa harumkan nama bangsa di hadapan warga dunia.
Saat itu, usianya baru menginjak belasan tahun. Di bawah perguruan Kushin Ryu M Karate-Do Indonesia (KKI), dia mengasah bakat dan semangatnya. Hingga tiga tahun kemudian Donny ikut serta dalam kejuaraan nasional
"Saya mengenal karate di wilayah yang jauh dari keramaian kota, tepatnya di Baligae, pinggir Danau Toba, Sumatera Utara. Saya memulai latihan sejak 1995. Dalam tiga tahun saya sudah ikut kejuaraan nasional," tutur dia, di Bekasi belum lama ini.
Semangat dan konsistensinya menjalani latihan yang diberikan sang pelatih, di tahun 2006, mengantarkan Donny ke Kejuaraan Dunia Karate (WKF Senior) di Finlandia. Kala itu, dia merupakan pemuda Indonesia pertama yang mencicipi ajang paling bergengsi di dunia karate. Pemuda berkulit sawo matang itu sukses memboyong medali perunggu.
"Dengan latihan penuh, komitmen, kerja keras, 10 tahun latihan baru bisa menembus kejuaraan dunia, WKF 2006. Kejuraan tertinggi dalam karate. Medali pertama Indonesia di ajang kejuaraan dunia" tutur dia.
Dalam kesempatan berbeda, Ketua KKI sekaligus Wakil Ketua MPR RI Oesman Sapta mengakui, pembinaan atlet karate sejak dini berpeluang menghasilkan juara-juara dunia baru layaknya Donny.
"Sekarang yang bertanding atlet kecil-kecil tetapi nanti bisa menjadi juara dunia. Karena yang pertama ikut kejuaraan dunia, itu dari KKI, si Donny. Dia nomor tiga di dunia. Donny itu dari kecil," kata Oesman.
"Atlet-atlet di umur kecil itu lebih bagus, jangkanya panjang. Tetapi kalau yang senior tinggal beberapa tahun saja," imbuh dia.
Sementara itu, Pangima TNI sekaligus Ketua PB Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (FORKI), Jenderal Gatot Nurmantyo mengapresiasi perguruan-perguruan karate yang membina atlet sejak dini. Langkah ini juga diambil FORKI sembari mengikutsertakan para atlet di berbagai kompetisi.
"Langkah-langkah, kita membina atlet dari junior. Kemudian kami melakukan beberapa kompetisi. Mengadakan pelatihan-pelatihan baik di dalam maupun luar negeri, di negara-negara yang mempunyai prestasi," ucap Gatot.
Lawan kejenuhan
Dibanding rasa lelahnya menjalani latihan, Donny mengaku lebih sulit melawan kejenuhan. Dalam sehari ia harus mengasah kemampuannya di tiga sesi latihan. Satu sesi latihan bisa memakan waktu dua jam.
"Paling sulit dalam latihan itu melawan kejenuhan. Komitmen yang kita bangun pasti menimbulkan kejenuhan. Belum lagi banyak gangguan dari pihak luar yang mengganggu tujuan kita," kata dia.
Bila jenuh melanda, dukungan dari pelatih, pengurus-pengurus pusat yang dibutuhkan. Selain itu, variasi latihan dari pelatih diperlukan demi mencegah kejenuhan atlet.
"Karateka Indonesia umumnya kini antusias tinggi. Yang perlu perbaikan itu fasilitas pendukung mereka. Bukan hanya sarana latihan, tetapi juga skill para pelatih yang mendampingi mereka. Dibantu juga dengan teknologi untuk menganalisa anak-anak. Tele scouting yang dibantu dengan video rekaman. Nanti muncul data. Dari situlah kami bahan dasar kami untuk mengembangkan anak-anak," kata Donny.
Menurutnya, tak ada batasan usia minimal maupun maksimal untuk mempelajari karate. Kapanpun keinginan untuk menjadi karateka muncul, tuntaskan keinginan itu.
"Tak ada usia minimal untuk ikut karate. Kapanpun dia bisa, yang penting bisa mengembangkan diri," pungkas dia.
Pewarta: Lia Santosa
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016