Jakarta (ANTARA News) - Cukup sulit membayangkan seorang Indonesia berpidato pada Konvensi Nasional Partai Demokrat Amerika Serikat, yang agenda utamanya menentukan calon presiden dan wakil presiden negara itu untuk empat tahun ke depan. Juga menentukan visi dan misi pasangan calon pemimpin negara itu.
Tapi itu terjadi pada Ima Matul Maisaroh, perempuan asal Desa Gondanglegi, Malang, Jawa Timur, yang akan berpidato di depan puluhan ribu delegasi dalam Konvensi Nasional Partai Demokrat Amerika Serikat, di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat, pada 26 Juli waktu setempat.
Dikutip dari www.indonesianlantern.com, di Jakarta, Selasa dini hari, dia bersama belasan senator dan pembicara bergengsi lain akan tampil di panggung utama Stadion Wells Fargo. Dia bicara di depan puluhan ribu pendukung Hillary Clinton-Tim Kaine itu dan disiarkan langsung ke seluruh negara itu selain bisa diunduh di berbagai situs berita.
“Surat undangan resmi yang dikirim Komite Nasional Partai Demokrat baru saja saya terima Sabtu sore,’’ kata Maisaroh dalam nada gembira. Pada ajang itulah, Partai Demokrat Amerika Serikat secara resmi akan memilih Hillary Rodham Clinton sebagai kandidat utama dan Senator Tim Kaine sebagai wakil presiden, dalam Pemilu Amerika Serikat, November 2016 nanti.
Sistem Pemilu Amerika Serikat memang lebih kompleks dan panjang ketimbang sistem Pemilu di Indonesia.
Apa penyebab Maisaroh yang tamatan Madrasah Tsyanawiyah di Gondanglegi, Malang, itu sehingga dia bisa berpidato di forum sebesar dan sepenting itu?
Kisahnya dimulai pada 1997, ketika dia yang baru berusia 17 tahun, menerima tawaran bekerja sebagai pembantu rumah tangga alias pramuwisma seorang pengusaha interior disainer asal Indonesia yang bermukim di Los Angeles.
“Sejak sampai di Bandara LAX, paspor saya sudah ditahan oleh majikan saya,” kata perempuan bertubuh mungil itu, yang enggan menyebut nama bekas majikannya itu.
Selama tiga tahun, Maisaroh harus bekerja lebih dari 12 jam sehari dan hampir setiap hari, disiksa-dipukul majikannya. Tamparan dan kata-kata kejam bukan hal asing bagi dia saat itu yang tidak menguasasi bahasa Inggris.
“Sampai sekarang, bekas luka di kepala masih bisa dilihat,” kata dia. Dia korban perdagangan dan perbudakan manusia di negara yang justru mengklaim sebagai penjuru utama kemanusiaan dan demokrasi dunia.
Setelah tiga tahun, Maisaroh tidak tahan lagi. Pada 2000, perempuan desa ini nekat menyisipkan satu notes kecil berisi permintaan tolong kepada seorang penjaga bayi tetangganya. Tetangga inilah yang menolong Maisaroh melarikan diri dari rumah majikannya dan mengantarkannya ke kantor CAST.
Kelak di LSM CAST alias Coalition to Abolish Slavery and Trafficking, inilah sejak 2012 dia kemudian diundang untuk bergabung dan menjadi salah satu staf penting.
“Waktu itu saya tidak bawa paspor,” kata dia. Setelah beberapa bulan tinggal di rumah penampungan kaum gelandangan, dia pun akhirnya bisa tinggal di rumah layak dan bekerja di CAST.
Agar paspornya dikembalikan, dia berpura-pura pulang ke Indonesia. Ditemani seorang agen FBI, Maisaroh bertemu dengan bekas majikannya itu di Bandara Internasional Los Angeles.
Saya juga dipasangi alat penyadap untuk merekam seluruh pembicaraan,’’ tutur Ima dengan bahasa Inggris yang rapi. Singkat cerita, majikannya memberinya tiket pesawat sekali jalan ke tanah air dan berjanji hendak mengirim uang gajinya, setelah dia tiba di Malang, Jawa Timur.
Gaji itu tidak dibayarkan majikannya karena memang dia tidak pulang ke Malang. ‘’Saya hanya masuk ke ruang dalam bandara dan keluar lagi,’’ kata dia, yang akhirnya tidak mau menuntut majikannya yang berlaku kasar itu, sehingga FBI tidak bisa melakukan penahanan majikannya, karena tidak ada tuntutan dari Maisaroh.
“Prosesnya cukup berbelit dan membutuhkan saksi mata yang jelas. Dan aksi kekerasan itu terjadi di dalam rumah tanpa diketahui banyak orang,’’ kata Ima menuturkan. “Lagipula bekas-bekas luka saya dianggap kurang menunjukkan luka serius, meski terdapat bekas luka di kepala,” katanya.
Meski begitu, dia tetap tegar. Malah, sebaliknya, karirnya sebagai aktivis makin menanjak dan berhasil diundang ke berbagai pertemuan tingkat tinggi di Washington DC. Dia pernah berpidato dalam sidang yang dipimpin Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, John Kerry. Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, juga menerima dia dalam kesempatan khusus.
Namun ada satu orang yang ingin dia temui, yaitu Hillary Rodham Clinton yang kini menjadi kandidat presiden dari Partai Demokrat. “Saya belum pernah bertemu dengan Hillary Clinton,’’ ujar Maisaroh.
Dia berharap bisa bertemu Clinton di Konvensi Nasional Partai Demokrat di Philadelphia.
’’Dia satu-satunya pejabat tinggi AS yang punya program membantu para korban perbudakan dan perdagangan manusia, dengan menyumbang dana lewat Clinton Foundation,’’ kata Maisaroh, ibu tiga anak dan bersuamikan lelaki dari Bumi Priangan, Jawa Barat, itu.
“Saya hanya dua hari di Philadelphia, karena tidak ada yang nungguin anak-anak. Suami saya sedang pulang ke Tanah Air karena menunggu orang tuanya yang sedang sakit,” kata Maisaroh sebagaimana dinyatakan www.indonesianlantern.com itu.
“Selain menyampaikan pidato mengenai pengalaman saya sebagai korban perbudakan manusia, dia juga menyampaikan program-program penanggulangan perbudakan dan perdagangan manusia yang telah dilakukan Hillary Clinton,” kata dia, yang memiliki kaitan dengan Dewan Penasehat Gedung Putih sejak Desember 2015 lalu.
Perempuan berusia 33 tahun, jebolan kelas 1 SMA Khoirudin, Gondanglegi, ini diminta memberi saran dan masukan untuk Obama tentang pemberantasan perbudakan dan perdagangan manusia. Tercatat sekitar 45.000 orang menjadi korban perdagangan manusia di Amerika Serikat.
Bersama tiga anggota lain CAST, dia dipercaya menangani dua dari lima masalah utama, yaitu pendanaan dan sosialisasi para korban perdagangan manusia.
Oleh Ade P Marboen
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016