Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) menyambut baik rencana pengujian UU Penanaman Modal (PM) oleh pihak yang merasa keberatan terhadap keberadaan UU tersebut. "Kalau dianggap merugikan hak konstitusional kelompok atau perorangan, itu bisa diajukan (uji materi) sebagaimana mestinya. Silakan tidak ada masalah," kata Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, di sela temu wicara MK dengan Muslimat Nahdlatul Ulama (NU, di Jakarta, Kamis. Meski membuka diri untuk melayani proses uji materi, Jimly menolak untuk berkomentar lebih jauh tentang materi UU PM. MK, menurut Jimly, baru akan bekerja apabila sudah ada kajian terhadap UU itu yang salah satunya terwujud dalam pengajuan perkara pengujian UU PM kepada MK. Terkait wacana liberalisasi yang dijadikan alasan sejumlah pihak untuk menolak UU PM, Jimly mengatakan liberalisasi adalah suatu proses yang dilalui dalam perkembangan zaman. "Zaman sekarang sudah demikian terbuka, tentu ada pengaruhnya ke kita," katanya. Menurut Jimly, perubahan tersebut juga harus disesuaikan dengan UUD 1945. UUD 1945 tetap harus dijadikan patokan, karena UUD berfungsi sebagai pengontrol kecenderungan perubahan. Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR (29/3) mensahkan Rancangan Undang-Undang Penanaman Modal (RUU PM) untuk ditetapkan menjadi Undang-undang (UU) dengan persetujuan delapan dari sepuluh fraksi yang ada. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) menolak RUU itu disahkan. FPDIP melakukan aksi "walk out" sebelum keputusan diambil karena menilai pasal mengenai fasilitas kemudahan perpanjangan hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai tidak berdasar hukum. FPDIP meminta pengesahan RUU PM ditunda untuk memeriksa kembali kebenaran landasan hukum jangka waktu Hak Guna Usaha (HGU) yang dalam UU itu ditetapkan 95 tahun. Selain itu, juga perlu dilakukan pengajian terhadap Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Pakai untuk menghindari ketidaksesuaian dengan peraturan perundang-undangan lain. "Itu penting untuk menciptakan iklim penanaman modal yang kondusif tanpa mengorbankan prinsip-prinsip kedaulatan," kata juru bicara FPDIP, Aria Bima, yang menyampaikan pandangan akhir fraksi. Sementara itu, penolakan serupa juga diungkapkan Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI). Menurut Ketua Badan Pengurus PBHI, Johnson Panjaitan, pemberlakuan UU PM adalah upaya privatisasi dan liberalisasi seluruh cabang produksi. Menurut dia, hal itu adalah langkah yang tidak sejalan dengan upaya nasionalisasi. "Oleh karena itu, PBHI akan melakukan gugatan gugatan hukum dengan mangajukan `judicial review` di Mahkamah Konstitusi jika RUU PM tetap disahkan," kata Johnson. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007