Beirut (ANTARA News) - Di depan ulama dan tokoh Lebanon, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan, perjuangan kemerdekaan Indonesia dari cengkeraman penjajah kolonial tidak terlepas dari peran tokoh, ulama, dan pemuka agama. Mereka berperan penting sekaligus berada pada garda terdepan dalam melakukan perlawanan untuk membebaskan negeri dari penjajahan.
"Semangat perjuangan para ulama didasari pada kecintaan terhadap tanah air sebagaimana ungkapan hubbul wathan minal iman (cinta tanah air bagian dari iman)," tegas Menag, saat berpidato dalam seminar tentang Islam dan Nasionalisme Menuju Persatuan Bangsa yang diselenggarakan oleh Dar el-Fatwa Lebanon, di Beirut, Kamis (22/7) malam waktu setempat.
Menurutnya, meski ungkapan tersebut bukanlah hadis sahih, tetapi makna dan substansinya sejalan dan sangat dianjurkan agama. Apalagi jika dipahami, lanjut Menag, tanah air yang menjadi tempat menetap juga merupakan tempat menjalankan ajaran agama.
"Rasulullah sendiri adalah orang yang sangat mencintai tanah kelahirannya, Mekkah. Oleh karenanya, beliau sedih ketika terpaksa harus meninggalkan Mekkah dalam keadaan terusir. Kecintaan terhadap tanah air yang bersifat fitrah ini mendapat respon positif dari Allah, dengan menurunkan wahyu yang menginformasikan bahwa Allah berjanji mengembalikan beliau ke Kota Mekkah," ujar Menag, dikutip dari laman Kemenag, Sabtu.
Menag mengatakan, saat kaum penjajah kolonial datang di awal abad 16 Masehi, Islam sudah mengakar dalam hati bangsa Indonesia. Bahkan saat itu dan satu-dua abad berikutnya, sudah berdiri beberapa kerajaan Islam, antara lain: Samudera Pasai, Perlak, Demak, Banten, Mataram, Gowa dan sebagainya. Kerajaan-kerajaan itu melakukan perlawanan terhadap penjajah untuk meraih kemerdekaan.
"Para ulama dan pemuka agama berperan penting dalam upaya membebaskan negeri dari penjajahan," tandasnya.
"Para ulama memiliki minimal dua peran, yaitu sebagai pengajar, pemikir, atau pembaharu, juga sebagai panglima atau pemimpin perang melawan imperialisme Barat. Semangat juang (jihad) membela negara dan tanah air mereka kobarkan," tambahnya.
Seminar Internasional tentang Islam dan Nasionalisme ini diikuti ratusan tokoh dan ulama Lebanon. Tampil sebagai narasumber Anggota Watimpres RI KH Hasyim Muzadi dan Ulama Libanon Syekh Ahmad Alladen.
Selaku tuan rumah, Grand Mufti Lebanon, Abdel Latif Derian menyampaikan bahwa saat ini sebagian kalangan umat Islam keliru dalam memahami konsep kebangsaan dan nasionalisme. Mereka mengatakan bahwa kedua konsep tersebut bertentangan dengan konsep universalitas Islam dan keumatan. Padahal menurutnya, Rasulullah adalah orang yang sangat mencintai tanah kelahirannya, Mekkah, dan tempat tinggalnya, Madinah.
"Oleh karenanya, jika agama dan tanah airnya terancam umat Islam harus berjuang mempertahankannya. Keharusan membela tanah air tidak kalah pentingnya, bahkan sejajar, dengan kewajiban membela agama," tuturnya.
Menurut Abdel Latif, nasionalisme dan kebangsaan tidak berarti fanatisme yang dilarang oleh agama. Nasionalisme dan kebangsaan merupakan bentuk kecintaan terhadap tanah air yang menjadi tempat menjalankan syiar-syiar agama. "Itu berarti sejalan dengan tujuan pokok syariah, yaitu memelihara agama, jiwa, tanah air, kehormatan, dan harta, sebagaimana ditegaskan Nabi saat Haji Wada," katanya.
"Bagaimana seseorang akan menjalankan agama dengan baik bila tanah airnya terancam dan direbut orang lain, seperti yang dialami oleh saudara-saudara kita di Palestina," tambahnya.
Grand Mufti Lebanon ini mengapresiasi Indonesia sebagai negara Muslim terbesar yang mampu menjaga nilai-nilai demokrasi, konstitusi dan hak asasi dengan baik. "Tentu itu dapat terwujud dengan adanya tanah air dan semangat nasionalisme," tandasnya.
Menurutnya, tidak ada perdamaian di dunia, tanpa perdamaian antar agama. Dan, tidak ada perdamaian antar agama tanpa adanya nilai-nilai moral/etik yang disepakati bersama oleh semua agama. "Indonesia sebagai negara yang sangat besar di kawasan Asia serta plural dari segi agama dan budaya perlu mendapat apresiasi, sehingga kita perlu menjalin hubungan kerjasama dan persaudaraan," tutupnya.
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016