Jakarta (ANTARA News) - Berdiskusi seraya berputar-putar mencari inti dari soal demam Pokemon Go, membawa orang perorang atau kelompok untuk bertanya penuh selidik, apakah game berbasis augmented-reality itu memang bermanfaat atau justru bertuah mudarat?
Pokemon Go yang mengajak para pemain berlari keluar rumah, berhamburan ke hamparan lapangan membentang, dan bepergian ke sejumlah lokasi tertentu, seakan merayakan pamflet sukacita dari sihir berburu Pokemon di dunia nyata.
Kata kunci Pokemon Go, silakan kejar, silakan buru, dan silakan mendapatkan monster imut yang bersembunyi di berbagai lokasi dunia nyata melalui layar smartphone sebagai viewfinder dari kamera perangkat.
Sebagai pemain, silakan menikmati berbagai animasi dan obyek 3D di layar. Sebagai orang yang disuntik berbagai pertanyaan sarat ingin tahu, silakan mencari untuk menemukan percik makna di balik demam Pokemon Go.
Sebagai sosok terhukum di meja hijau nalar yang serba ingin menghakimi, sang Pokemon Go mendapat bobot makna negatif. Di mata Hubert Dreyfus - filosof yang membahas dan mengkaji dampak perkembangan kemajuan internet bagi kehidupan manusia modern abad ini - lontaran pertanyaan yang ia ajukan demikian menohok ke jantung pertahanan mereka yang mengidap demam permainan animasi itu.
"...Saya ragu bagaimana manusia dapat saling percaya jika mereka hanya saling tatap melalui layar, sementara, di saat yang sama, menggunakan lengan robot untuk bersalaman dengan tangan robot lainnya," tulis Dreyfus dalam buku On Internet : Thinking in Action.
Yang hilang dari permainan Pokemon Go, bahwa netizen tidak lagi mampu mencengkeram dan menangkap hal-hal yang nyata, tetapi justru memilih untuk mengejar kemudian mendapatkan monster dunia maya bernama Pokemon. Kredo yang berlaku: lebih enjoy, lebih nyaman bersua dan bercengkerama dengan dunia maya ketimbang dunia nyata.
Benar, bahwa game Pokemon Go mengajak netizen untuk berolah tubuh dengan berjalan dan berlari, ketimbang berdiam di ruangan tertutup. Benar, bahwa netizen diajak aktif dengan membidik kemudian menangkap sang monster. Benar, bahwa setiap bocah, tua muda, pria wanita kini bertanya, "Bagaimana saya bisa bermain game Pokemon Go?"
Fakta, bahwa Indonesia dilanda pandemi Pokemon Go, sampai-sampai tersiar warta sarat larangan bermain game itu, dari Polda Metro Jaya sampai Istana Kepresidenan, bahkan penegasan dari Badan Intelijen Negara (BIN).
"Jangan sampai kita asyik mengejar Pokemon, malah jadi petaka. Kita asyik main handphone di jalan, malah jadi bahaya buat diri sendiri. Kalau ada lubang, kendaraan, bersenggolan dengan pejalan lain, atau malah kita dicopet," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono di Mapolda Metro Jaya, Kamis (14/7).
Kalangan Istana melarang bermain Pokemon Go di lingkungan Istana Kepresidenan, Jakarta dengan mengeluarkan selebaran berbunyi, "Dilarang bermain atau mencari Pokemon di lingkungan Istana".
Dari kacamata keamanan negara, Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso mengutarakan dan menjelaskan dengan terang benderang intipati permainan Pokemon Go. "Permainan itu kan membutuhkan kamera. Kalau dimainkan di instalasi penting seperti objek vital asrama Kepolisian, TNI atau intelijen tentu bisa dibaca oleh intelijen gambar-gambar itu," kata Sutiyoso sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
Ketiga keberatan seputar permainan Pokemon Go itu mengerucut kepada tesis mendasar bahwa ada yang hilang saat manusia - baca saat netizen - berhubungan dan berkejaran menangkap monster imut di segala lokasi di penjuru negeri.
Harian Time menulis bahwa Pokemon Go yang mendompleng sebagai komoditas berbasis teknologi ujung-ujungnya sekedar komoditas "dagangan". Permainan yang lahir dari rahim Nintendo itu moncer lewat pembelian item berbayar (in-app purchase).
Menurut penelusuran KompasTekno, pendapatan keselurahan Niantic yang berasal dari Pokemon Go mencapai lebih kurang 22.000 dollar AS atau Rp287 juta dalam hitungan dua menit, atau sekitar Rp143 juta dalam satu menit. Hanya dalam empat menit, jumlah itu demikian berlipat ganda menjadi 40.000 dollar AS atau sekitar Rp523 juta.
Hitung-hitungan yang menggeledah ada apa di balik permainan Pokemon Go sebenarnya bukan keprihatinan anyar. Pemikir teknologi informasi, Jacques Ellul menunjuk bahwa perusahaan raksasa teknologi informasi - Microsoft - sedang memainkan logika ekonomi dan politik yang menempatkan teknologi sebagai komoditas yang sarat nuansa penjajahan dengan menggunakan uang sebagai kendaraan.
Selain motif sarat penjajahan ekonomi, Pokemon Go sebagai permainan di dunia maya memberangus suasana hati (mood). Dalam dunia virtual, suasana hati bisa disembunyikan bahkan ditutup-tutupi. Menyaksikan laga sepak bola melalui televisi jauh berbeda dengan turun bermain di lapangan.
Apakah memeluk seseorang yang dikasihi secara real sama bobot maknanya dengan memeluk hanya dalam dunia maya? Fenomena "telehugs" tidak mampu mengaitkan dan mengikutsertakan bobot emosi hubungan antar manusia.
Apakah mencium orang yang dicintai dan dikasihi lewat dunia maya mampu menjamin keintiman hubungan pribadi yang merupakan kerinduan setiap manusia? Fenomena "kiss Messenger" atau mencium dengan "bibir virtual", atau melakukan ciuman melalui internet meniadakan situasi romantis, mengusir luapan gairah, karena yang dicium sekedar bibir buatan yang tergambar di layar tiga dimensi.
Di balik fenomena Pokemon Go, Telehugs, kiss Messenger, tersimpan keterasingan manusia. Manusia makin terasing (teralienasi) - dengan meminjam istilah ahli pendidikan Paulo Freire - dari sesamanya, dari dunia dengan huruf besar.
Sebagai permainan, Pokemon Go meniadakan "eros" dan mengusir "agon". Berbekal eros (kata Yunani) artinya cinta, dan agon yang artinya perjuangan, maka setiap permainan mampu membebaskan manusia dari logika ekonomi dan logika politik yang senata-mata bernapaskan pamrih.
Permainan, di mata filosof N, Drijarkara SJ, merupakan upaya pembebasan dari pamrih (baca: ekonomi dan politik). "Di mana manusia mencari pamrih, di situ rusaklah permainan," katanya.
"Barangsiapa mempermainkan permainan akan menjadi permainan-permainan. Bermainlah untuk bahagia, tetapi janganlah mempermainkan bahagia." kata Drijarkara. Sejatinya, Pokemon Go hanyalah upaya untuk mendekatkan robot dan manusia dalam dunia maya alias "lovotics".
Oleh A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2016