London (ANTARA News) - Indonesia sebagai negara dengan perekonomian GDP annual growth 5.5 persen dinilai merupakan salah satu kekuatan yang berhasil meredam shock dari pasar finansial setelah kemenangan Brexit.
Executive Director Young Indonesian Professionals Association (YIPA) Steven Marcelino kepada Antara London, Rabu, mengatakan kondisi itu menjadi bahasan yang menarik dalam diskusi mengenai hasil referendum UniEropa di Inggris, Brexit yang merupakan dampak dari keputusan Inggris Raya.
Diskusi diadakan Komunitas professional muda asal Indonesia yang berkarir di Inggris tergabung dalam YIPA bekerja sama dengan KBRI London, diadakan di Crutacala Hall awal pekan ini.
Diskusi bertemakan "Bret: Whats Ahead" diawali dengan sambutan Dr.Rizal Sukma, Duta Besar Indonesia untuk Inggris Raya dan Irlandia mengupas dampak kedepan apa yang akan terjadi terhadap pertumbuhan ekonomi Inggris dan Uni Eropa, implikasi ke perekonomian Indonesia, serta beberapa peluang yang bermanfaat bagi Indonesia.
Steven Marcelino, yang juga Konsultan di Accenture Strategy, melihat bahwa terdapat rally di JCI sebanyak enam persen semenjak pengumuman referendum Uni Eropa di Inggris, sedangkan Rupiah menguat terhadap Poundsterling sebesar 17.5 persen dalam setengah tahun terakhir.
Tiga pembicara dalam panel diskusi ini memiliki fokus ekonomi dan bisnis, diantaranya Jamie Murray (Chief Economist EMEA, Bloomberg), Madhur Jha (Senior Global Economist, Standard Chartered Bank) dan Harun Reksodiputro (Partner, Ginting & Reksodiputro).
Chief Economist EMEA, Bloomberg, Jamie Murray menyebutkan dari segi perekonomian Inggris, dampak Brexit secara jangka pendek adalah melemahnya nilai tukar mata uang Poundsterling(GBP), anjloknya harga saham dan ketidakpastian pasar yang berlanjut hingga ada kepastian tentang relasi baru untuk pihak Inggris Raya dan Uni Eropa, ujar Jamie Muray.
Pria yang memimpin tim ekonomis Bloomberg di London ini mempaparkan sebuah economic model yang mengilustrasikan perlambatan perekonomian dan meningkatnya inflasi hingga akhir tahun 2017.
Pasar dapat berekspektasi bahwa ekonomi Inggris akan pulih dari slowdown pada tahun 2018. Pria yang sering dipanggil ke Parlemen Inggris untuk melakukan evaluasi ekonomi ini menekankan bahwa resesi dikarenakan Brexit itu tidak akan terjadi.
Panel ini dimoderatori Steven Marcelino selaku YIPA Executive Director kemudian berlanjut ke topik terkait Uni Eropa. Beberapa model kerjasama yang memungkinkan untuk dijadikan patokan hubungan baru Inggris raya dan Uni Eropa, yaitu Norwegia, Swiss, dan Canada.
Senior Global Economist, Standard Chartered Bank di London, Madhur Jha berpendapat negara-negara tersebut bukanlah anggota Uni Eropa, tetapi memiliki tipe akses yang berbeda ke dalam single-market yang mungkin bisa di implimentasikan ke kerjasama anatara Inggris Raya dengan Uni Eropa.
Sementara itu Harun Reksodiputro, yang juga merupakan Vice Chairman BritCham Jakarta berargumen bagi klien di bidang finansial, akses untuk passporting itu yang paling penting. Terlebih lagi M&A lawyer ini deal terbaik yang Inggris akan mendapatkan kondisi sekarang ini dimana Inggris dapat secara langsung mempengaruhi peraturan Uni Eropa secara signifikan.
Direktur BKPM London Nurul Ichwan yang juga hadir dalam diskusi ini menanyakan tentang potensi investasi global masa depan ditengah kepercayaan pasar yang cukup rendah saat ini.
Madhur Jha yang merupakan mantan FX derivative trader setuju ada korelasi berbalik antara kepercayan pasar dengan volatilitas pasar, terlebih lagi ada referendum yang cukup penting di Italia pada Oktober mendatang yang akan mendikte arah kebijakan kedepan.
Perencanaan acara YIPA kali ini dibantu Event Director untuk YIPA Jean Renaldy, dan Marshall Yaphary yang memimpin tim spesial Brexit. Acara ditutup dengan networking event dengan harapan melalui diskusi seperti ini, YIPA akan terus berperan sebagai katalis yang dapat mengedukasi dan mempromosikan Indonesia dalam sektorbisnis, ekonomi dan sosial di Inggris Raya.
Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016