"Diawali rasa ingin dihormati, ingin terlihat berwibawa. Ya, salah satunya dengan menunjukkan sikap galak kepada yunior. Bahkan, sampai ada yang melakukan kekerasan," katanya di Semarang, Selasa malam.
Menurut dia, kecenderungan terjadinya perpeloncoan juga berkaitan dengan adanya kesempatan yang diberikan, yakni melalui kegiatan masa orientasi siswa (MOS) yang dipercayakan kepada siswa-siswa senior.
Baca Juga : DKI awasi kegiatan ekstrakurikuler untuk pastikan tak ada peloncoan
Kalau dibiarkan, lanjut dia, kecenderungan tindak perpeloncoan akan terjadi secara turun-temurun karena yuniornya pun akan melakukan hal serupa kepada adik-adik kelasnya nanti pada saat MOS.
"Istilahnya, mumpung saat itu ada kesempatan, yakni dipercaya menangani MOS untuk adik-adik kelasnya. Makanya, siswa senior akan menggunakannya untuk memelonco agar keberadaannya diakui," katanya.
Maka dari itu, kata dia, kebijakan MOS yang sekarang diganti dengan MPLS (masa pengenalan lingkungan sekolah) sebenarnya sangat tepat karena pengelolaan langsung dilakukan guru, bukan lagi siswa.
"Benar kalau (MPLS) ditangani sekolah. Sebenarnya siswa ini kan belum dewasa untuk diserahi tugas semacam itu. Mereka belum bisa melakukan manage atas kekuasaan yang diberikan," katanya.
Baca Juga : Mendikbud tak ingin MOS jadi ajang perpeloncoan
Probowatie berpendapat masa pengenalan atau orientasi siswa baru sebenarnya sangat penting agar mereka memahami lingkungan barunya, namun caranya yang perlu diperhatikan agar tidak salah.
"Anak-anak ini perlu dididik untuk bekerja keras karena tidak mudah mencapai sesuatu. Itu kan yang selama ini terjadi dalam MOS, misalnya rambut dikucir 27 ikat, dikerjain kakak kelasnya," katanya.
Lebih baik, kata dia, siswa baru diberikan cara yang mendidik, seperti membawa beras setengah kilogram, membaca artikel kemudian menyimpulkan, dan cara-cara lain dengan esensi sama namun positif.
"Siswa kan bisa disuruh bawa beras setengah kg, atau apalah. Nanti, berasnya disumbangkan. Disuruh bawa koran untuk disumbangkan. Itu mendidik siswa bekerja keras, dan belajar beramal," katanya.
Probowatie berpendapat masa pengenalan atau orientasi siswa baru sebenarnya sangat penting agar mereka memahami lingkungan barunya, namun caranya yang perlu diperhatikan agar tidak salah.
"Anak-anak ini perlu dididik untuk bekerja keras karena tidak mudah mencapai sesuatu. Itu kan yang selama ini terjadi dalam MOS, misalnya rambut dikucir 27 ikat, dikerjain kakak kelasnya," katanya.
Lebih baik, kata dia, siswa baru diberikan cara yang mendidik, seperti membawa beras setengah kilogram, membaca artikel kemudian menyimpulkan, dan cara-cara lain dengan esensi sama namun positif.
"Siswa kan bisa disuruh bawa beras setengah kg, atau apalah. Nanti, berasnya disumbangkan. Disuruh bawa koran untuk disumbangkan. Itu mendidik siswa bekerja keras, dan belajar beramal," katanya.
Pewarta: Zuhdiar Laeis
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016