Jakarta (ANTARA News) - Dalam 10 tahun terakhir ada fenomena baru di kalangan umat Islam, yaitu tidak lagi memandang lembaga pendidikan Islam sebagai kelas dua disusul minat masuk Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) makin tinggi.
Terlebih lagi di PTAIN sudah diintegrasikan berbagai disiplin ilmu agama dan umum ke dalam perguruan tinggi Islam. Kementerian Agama pun tidak lagi mengotak-kotakkan ilmu agama dan umum. Karena itu, kini mahasiswa dari madrasah atau berasal dari pondok pesantren bisa belajar ilmu kedokteran.
Sungguh menggembirakan di kalangan umat Islam.
Lima tahun silam Kementerian Agama juga sudah memproyeksikan dua universitas Islam negeri (UIN) di Indonesia menjadi perguruan tinggi bertaraf internasional, yakni UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.
Hal ini tentu saja sangat membanggakan dan berharap menular ke UIN-UIN yang lain.
Di UIN Malang saat ini terdapat sejumlah mahasiswa dari 30 negara. Banyaknya mahasiswa luar negeri, termasuk dari Timur Tengah: Libia, Mesir dan Afrika yang kuliah di universitas Islam itu menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia maju pesat luar biasa. Sebelum mengikuti materi kuliah, mahasiswa asing ikut pelajaran Bahasa Indonesia. Mereka itu ditampung di asrama mahasiswa yang sudah disediakan.
Kementerian Agama saat ini terus melakukan peningkatan kualitas lembaga pendidikan yang dikelolanya. Untuk pendidikan tinggi agama Islam, kementerian itu mengambil kebijakan baru yaitu meningkatkan pelayanan agar mampu menyerap dan melayani tuntutan publik menuntut ilmu agama.
Untuk itulah maka beberapa lembaga pendidikan seperti Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) didorong peningkatan kualitas dan statusnya.
IAIN ditingkatkan statusnya menjadi UIN. Contohnya IAIN Sunan Ampel menjadi UIN Sunan Ampel. Belum lama ini juga IAIN Aceh telah beralih status menjadi UIN. Kemudian, IAIN di Sumatera Utara berubah UIN, begitu seterusnya.
Tentu saja perubahan status perguruan tinggi agama Islam tersebut tidak diumbar, atau ditingkatkan statusnya tanpa mengindahkan aturan dan memperhatikan kualiasnya. Realitasnya, perguruan tinggi belum melayani keinginan banyak pihak yang menempuh pendidikan .Padahal, dari tahun ke tahun minat mahasiswa memasuki perguruan tinggi sangat luar biasa.
Program lainnya, yakni pemerataan model pendidikan UIN antara Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Kementerian Agama memandang bahwa pendidikan di barat tidak boleh sama dengan timur karena kondisinya yang berbeda.
Jelas, semua umat Islam menghendaki agar pendidikan Islam menjadi yang terbaik, berkualitas. Ilmu yang dikembangkan di perguruan tinggi bersifat komprehensif dan sempurna, yaitu meliputi ilmu untuk bekal kehidupan di dunia maupun di akhirat.
Mahasiswa yang belajar di lembaga pendidikan Islam digambarkan bahwa di tangan kanannya memegang kitab suci, sementara itu di tangan kirinya buku-buku ilmiah dan panduan untuk mengembangkan keterampilan. Dalam bahasa lainnya bahwa antara nalar, hati, dan ketrampilannya dikembangkan secara bersama-sama dan seimbang. Tentu beban itu berat, tetapi hasilnya cukup dijadikan bekal hidup, baik di dunia maupun di akhirat.
Harapan ideal itu sebenarnya sudah terbukti bisa dijangkau dan dicapai. Di Indonesia tidak sedikit tokoh yang menguasai sumber ajaran Islam, yaitu Al Quran dan hadis nabi tetapi mereka sebagai seorang dokter, ahli fisika, kimia, biologi, sosiolog, sejarawan, ahli di bidang teknologi, dan lain-lain.
Mereka yang memiliki kekayaan ilmu sebagaimana digambarkan itu, mengutip pernyataan mantan Rektor Universitas Islam Negeri Malik Ibrahim Malang, Imam Suprayogo, ternyata banyak yang belajar di pesantren dan merangkap di sekolah umum, atau perguruan tinggi. Akhirnya, mereka dikenal sebagai seorang ulama dan sekaligus intelektual.
Untuk memperoleh kemampuan dimaksud, para siswa atau mahasiswa sendiri yang berinisiatif, dan bukan berasal dari konsep yang dirancang oleh lembaga pendidikan sendiri.
Pusat peradaban
Seiring meningkatkan pengakuan masyarakat akademik internasional atas Islam di Indonesia, pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pusat penelitian dan pengembangan, alternatif pemecahan masalah kemanusiaan, mozaik budaya dan peradaban dunia, serta inspirasi bagi terciptanya tata dunia baru yang damai, ramah, demoktratis, dan berkeadilan.
Harus diakui bahwa isu pluralisme kadang menjadi komoditas berita hangat, diperbincangkan melibatkan para tokoh agama dan masyarakat tatkala mencuat peristiwa intoleransi di suatu tempat. Namun, suatu saat mendingin disertai peringatan tetap waspada akan hadirnya provokator yang mengusik ketenangan di masyarakat.
Perbedaan karena suku, agama, ras dan antargolongan -- yang kemudian dikenal sebagai SARA -- sesungguhnya tidak perlu menjadi isu yang ditanggapi secara berlebihan. Sebab, untuk memelihara kerukunan tersebut para pendiri bangsa ini telah merumuskan dalam kata yang sedemikian mudah dipahami, yaitu Bhineka Tunggal Ika.
Dengan begitu, kehidupan berbhineka atau disebut plural itu sebenarnya sudah terbiasa bagi rakyat Indonesia sejak dahulu. Di dalam satu kantor, sekolah, kampus atau lainnya terdapat berbagai jenis suku, bahasa daerah, adat istiadat dan lain-lain adalah dianggap lazim. Perbedaan tersebut tidak menjadi halangan dalam mendapatkan rasa keadilan.
Memahami kenyataan tersebut maka pluralisme bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukan sesuatu yang baru dan aneh. Oleh karena itu, bangsa Indonesia tidak perlu belajar konsep pluralisme ke negara atau bangsa lain, tetapi seharusnya justru sebaliknya, yaitu menjadi guru tentang kehidupan yang majemuk, bhineka, atau plural.
Hal demikian itu, menurut Imam Suprayogo, karena bangsa Indonesia sudah lama menjalankan konsep itu. Kenyataannya pun tidak ada hal yang tidak terselesaikan dari adanya perbedaan sebagaimana dimaksudkan itu.
Jika ditarik ke konsep Islam Nusantara, Indonesia -- yang paling menghormati dan menjunjung ajaran Islam yang Rahmatan Lil Alamin, maka sebagai pembawa kedamaian bagi semesta alam -- sudah tentu memiliki berbagai kelebihan dari kemajemukan yang ada. Karena itulah, lembaga pendidikan berbasis agama (agama lain) di Tanah Air berkembang pesat.
Bukan hanya di lingkup perguruan tinggi agama Islam, agama lain pun memiliki perguruan tinggi dengan dasar akidah masing-masing. Dengan harapan, ke depan, kualaitas kehidupan beragama (agama lain: Kristen, Katolik, Buddha, Hindu dan Khonghcu) akan semakin baik. Untuk itu, penguatan pendidikan keagamaan sangat berperan dan menjadi sangat penting.
Laman Sekretariat Kabinet RI menyebut: "Ke depan, Indonesia perlu menjadi salah satu pusat peradaban Islam di dunia dan mengenalkannya kepada dunia internasional melalui jalur dan jenjang pendidikan tinggi yang memenuhi standar internasional."
Atas dasar pertimbangan tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 29 Juni 2016 menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 57 Tahun 2016 tentang pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia, yang selanjutnya disingkat UIII.
Sesuai namanya, perguruan tinggi itu jelas berstandar internasional dan menjadi model pendidikan tinggi Islam terkemuka dalam pengkajian keIslaman strategis yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama, bunyi Pasal 1 ayat (2) Perpres tersebut.
Untuk mewujudkan perguruan tinggi berstandar internasional, UIII juga mempunyai tugas utama menyelenggarakan program magister dan doktor bidang studi ilmu agama Islam.
Selain menyelenggarakan program pendidikan tinggi ilmu agama Islam sebagaimana dimaksud dalam Perpres ini, UIII dapat menyelenggarakan program magister dan doktor bidang studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta sains dan teknologi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan, pendanaan penyelenggaraan UIII bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan non-anggaran pendapatan dan belanja negara, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perguruan tinggi negeri badan hukum.
Diharapkan program tersebut segera terwujud dan mendapat dukungan semua pihak. Indonesia memang pantas memiliki perguruan bertaraf internasional seperti UIII itu karena ke depan akan menjadi pusat peradaban Islam yang Rahmatan Lil Alam (membawa rahmat bagi semesta alam).
Oleh Edy Supriatna Sjafei
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016