Menurut dia, terulangnya kasus penyanderaan WNI oleh Abu Sayyaf menjadi bukti bahwa pemerintah belum serius dalam proses negosiasi dan peningkatan kerja sama strategis baik dengan pemerintah Filipina maupun Malaysia.
"Pemerintah terkesan bertindak reaktif terhadap berbagai kasus penculikan, serta menyelesaikan secara parsial dan per kejadian," kata Rofi dalam siaran pers yang diterima Antara di Jakarta, Kamis (14/7) malam.
Dalam kasus terkini yakni penculikan terhadap tiga ABK WNI oleh kelompok Abu Sayyaf di perairan Sabah, Malaysia, pada 9 Juli lalu, ada indikasi bahwa penyandera terkesan memilih korban berpaspor WNI sedangan tiga ABK lain warga Filipina serta satu ABK WNI yang tidak membawa paspor, dilepaskan.
Motif dan proyeksi di balik penyanderaan WNI yang telah terjadi sebanyak empat kali sejak Maret lalu, kata Rofi, perlu diselidiki dan ditangani secara menyeluruh melalui proses perundingan atau negosiasi sehingga kasus serupa tidak terulang.
"Selain untuk menciptakan gangguan kemamanan di perairan, mereka juga menjadikan potensi ekonomi dari setiap proses penyanderaan," tutur anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera itu.
Berkaitan dengan motif ekonomi itu, ia mendesak pemerintah dan pengusaha pemilik kapal untuk menyelamatkan sandera WNI melalui perundingan, bukan transaksi pembayaran tebusan.
Pendekatan diplomasi melalui perundingan atau negosiasi dianggap sebagai cara terbaik agar WNI tidak terus-menerus menjadi target penyanderaan kelompok Abu Sayyaf.
"Pemerintah harus membuktikan bahwa pembebasan WNI selama ini dilakukan karena pendekatan diplomasi dan ditempuh dengan negosiasi, bukan transaksi. Negosiasi bukan hanya dengan kelompok bersenjata Abu Sayyaf, namun juga dengan pemerintah Filipina agar lebih serius," kata Rofi.
Saat ini, 10 ABK WNI diketahui menjadi sandera kelompok separatis Abu Sayyaf.
Selain menculik tiga WNI di perairan Sabah, Malaysia, kelompok bersenjata itu juga menyandera tujuh WNI di perairan Sulu, Filipina selatan sejak 23 Juni 2016.
Pewarta: Yashinta Difa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016