Jakarta (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menjelaskan bahwa penempatan personel bersenjata untuk mengawal kapal-kapal tunda dan tongkang (tug and barge) berukuran kecil yang mengangkut batu bara Indonesia ke Filipina, sedang dipertimbangkan pemerintah.
Opsi tersebut dibahas dalam rapat paripurna tingkat menteri (RPTM) tentang pusat krisis pembebasan sandera WNI di Kemenkopolhukam, Jakarta, Kamis, karena 15 persen kapal pengekspor batu bara Indonesia ke Filipina merupakan kapal tongkang kecil yang rentan dibajak oleh kelompok perompak.
"Dalam kasus penyanderaan kan selalu terjadi pada kapal tug and barge, karena itu kita sepakat bahwa prioritas (keamanan) kita berikan ke kapal-kapal tersebut," kata Menlu usai mengikuti rapat paripurna tingkat menteri (RPTM) tentang pusat krisis pembebasan sandera WNI di Kemenkopolhukam, Jakarta, Kamis.
Penempatan personnel sipil bersenjata (armed guards) untuk mengawal kapal niaga, menurut Retno, telah sesuai dengan panduan dari Organisasi Maritim Internasional (IMO).
Namun, ia menegaskan bahwa kebijakan tersebut belum final karena masih perlu dikaji oleh Menteri Perhubungan Ignasius Jonan.
"Pak Jonan yang akan mempelajari panduan IMO tersebut. Itu guidelines sudah ada jadi kita tinggal mengomunikasikan dengan Filipina dan memberi notifikasi kepada semua pemilik kapal mengenai opsi ini," kata Menlu.
Menlu Retno juga menegaskan bahwa moratorium pengiriman batu bara tetap berlanjut sampai pemerintah Filipina bisa memberi jaminan keamanan terhadap kapal-kapal pengekspor batu bara Indonesia yang menyokong 96 persen kebutuhan listrik di negara tersebut.
"Kan kita tidak mau ada korban (sandera) lagi. Jadi selama jaminan keselamatan tidak dapat diberikan ya we focus on that (moratorium pengiriman batu bara)," ujarnya.
Selain penempatan personel bersenjata, pemerintah Indonesia juga akan mendisiplinkan kapal-kapal niaga agar melintas di jalur pelayaran (sea corridor) yang aman, meskipun jaraknya memang sedikit lebih jauh.
Seluruh upaya itu dilakukan supaya kasus penyanderaan anak buah kapal (ABK) WNI oleh kelompok separatis Filipina yang telah terjadi sebanyak empat kali sejak Maret lalu, tidak terulang.
Saat ini, 10 ABK WNI diketahui menjadi sandera kelompok separatis Abu Sayyaf. Baik pemerintah maupun perusahaan pemilik kapal sedang mengupayakan penyelamatan 10 WNI tersebut melalui jalan negosiasi.
Pewarta: Yashinta Difa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016