Momentum Lebaran meninggalkan beragam kenangan indah dan kesenangan tak terlupakan. Pascamudik Lebaran menyisakan berjuta problematika kehidupan yang bila tidak segera diatasi berujung depresi tak berkesudahan.
Lebaran adalah ritual tahunan, bukan perayaan wajib. Namun, uniknya semua orang senantiasa berjuang mati-matian untuk dapat berlebaran di kampung halaman.
Ada yang rela menghabiskan dana berjuta-juta demi bakti kepada orang tua, berkumpul, bersilaturahmi dengan tetangga, reuni dengan sahabat lama.
Apapun ditempuh, demi merayakan kemenangan dan kembali kepada kesucian diri. Ibarat pesta, Lebaran memang pantas dirayakan. Meskipun semua tahu bahwa pesta pasti berakhir.
"Pestapora" itu pun seketika menjelma "bencana", terutama bila berjuta problematika menghadang di depan mata, terutama pascamudik Lebaran. Sebutlah dari kehabisan tiket pulang, merasakan macet yang luar biasa, cucian yang menumpuk, banyak tugas kantor yang belum terselesaikan, belum bukanya toko atau swalayan di dekat rumah.
Beruntunglah mereka yang terbiasa mandiri. Namun, bagi yang terbiasa dibantu asisten rumah tangga, pascamudik Lebaran ibarat "hantu" yang memusingkan. Mulai dari undangan silaturahmi bertubi-tubi, berdatangan tamu ke rumah untuk bersilaturahmi, berantakannya rumah akibat lama ditinggal mudik ke kampung halaman. Semua ini dapat berujung depresi, terutama bila mekanisme coping (pertahanan diri) lemah.
Menurut KBBI, depresi adalah gangguan jiwa pada seseorang yang ditandai dengan perasaan yang merosot (seperti muram, sedih, perasaan tertekan).
Sesuai dengan sistem ICD-10 (The International Classification of Mental and Behavioral Disorders, 10th revision), depresi memiliki tiga gejala khas, yakni gangguan mood (berupa suasana hati dan alam perasaan yang memburuk atau sedih), anhedonia (sulit untuk bahagia), dan berkurangnya energi sehingga mudah mengalami kelelahan.
Menurut WHO, di seluruh dunia ada 340 juta orang yang menderita depresi. Pada tahun 2020, depresi termasuk penyakit nomor satu di dunia, terutama di negara-negara berkembang, dan menjadi kontributor "the global burden of disease" terbesar kedua setelah penyakit jantung.
Penyebab
Banyak teori penyebab depresi. Adanya stresor (tekanan) psikososial berat yang dialami oleh seseorang dan orang tersebut belum mampu menemukan solusinya. Gangguan hormonal, seperti: hormon-hormon terkait dengan tiroid, peningkatan CRH (corticotropin releasing hormone). Penurunan zat kimiawi di otak (biasa disebut neurotransmiter monoamin), seperti serotonin dan norepinefrin.
Uniknya, zat pembentuk serotonin, yakni triptofan, juga ikut turun. Penurunan serotonin dan perubahan postsynaptic serotonin-receptor binding di berbagai daerah di otak telah dibuktikan melalui riset pencitraan menggunakan PET (positron-emission tomography).
Selain itu, kekurangan dopamine, gamma aminobutyric acid (GABA), dan peptide neurotransmitters atau faktor-faktor trofik, seperti brain-derived neurotrophic factor (BDNF), somatostatin, dan overaktivitas sistem neurotransmiter lainnya yang melibatkan acetylcholine, corticotropin-releasing factor, dan substance P, juga berimplikasi terhadap terjadinya depresi (Anurogo, 2016).
Depresi juga memiliki banyak faktor risiko. Misalnya, sangat tergantung pada orang lain, memiliki kepribadian tertutup (introvert), riwayat keluarga ada yang juga menderita depresi, merasa mudah cemas, hipersensitif (mudah tersinggung).
Di samping itu, bila pernah menderita penyakit sistem persarafan, seperti stroke, penyakit Parkinson, multipel sklerosis juga rentan menjadi depresi. Pelbagai zat atau obat, seperti golongan beta bloker dan reserpin, termasuk penyalahgunaan zat (alkohol, narkotika, amfetamin, kokain, dsb) juga merupakan faktor risiko depresi.
Berdasarkan paradigma hematopsikiatri, golongan darah A dan AB cenderung lebih rentan mengalami depresi dibandingkan golongan darah B dan O (Anurogo, 2007).
Potret Klinis
Depresi merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan faktor-faktor biologis (termasuk genetika dan biologi molekuler), sosial, dan psikologis. Semua faktor ini berkontribusi terhadap perkembangan, derajat keparahan, lama tidaknya episode depresif. Selama periode depresi, umumnya penderita melaporkan gejala-gejala di aspek biopsikososial.
Gangguan di aspek biologis terlihat dari gangguan tidur, perubahan selera makan, disharmoni seksualitas bagi yang telah menikah. Gangguan pada aspek psikologis terdeteksi dari gangguan konsentrasi, mendadak menjadi pelupa, mudah lelah, mudah menyalahkan orang lain, sering berpikir negatif atau berpikir buruk, muncul ide untuk bunuh diri, merasa tidak berguna lagi, masa depan suram.
Gangguan di tingkat sosial terlihat dari menarik diri dari aktivitas sosial, kehilangan kepercayaan diri (SIGN, 2010).
Beberapa hal di atas umumnya dirasakan penderita setiap hari, selama minimal selama dua minggu.
Untuk memudahkan, Blenkiron (2006) telah membuat singkatan cerdas (mnemonic) DEPRESSION, yaitu:
D = Depressed mood (perasaan tertekan),
E = Energy loss/fatigue (kehilangan energi/kelelahan),
P = Pleasure lost (kehilangan kesenangan),
R = Retardation-excitation (penurunan-semangat/senang berlebihan),
E = Eating changed-appetite/weight (perubahan selera makan/berat badan menurun),
S = Sleep changed (perubahan/gangguan pola tidur),
S = Suicidal thoughts (ide atau pikiran bunuh diri),
I = Im a failure, loss of confidence (merasa gagal dan kehilangan kepercayaan diri),
O = Only me to blame/guilt (merasa bersalah),
N = No concentration (kehilangan konsentrasi).
Bila Anda merasakan salah satu atau beberapa tanda atau gejala di atas, selama minimal dua minggu, maka segeralah berkonsultasi ke dokter atau psikiater terdekat. Dokter atau psikiater akan melakukan anamnesis (wawancara terstruktur, komprehensif, dan mendetail), pemeriksaan fisik dan psikiatris, pemeriksaan penunjang sesuai indikasi, dan memberikan tatalaksana yang sesuai. Penegakan diagnosis depresi secara internasional mengacu kepada DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition) dan ICD-10.
Pencegahan
Penulis merumuskan akronim "CEGAH DEPRESI" sebagai strategi efektif untuk upaya preventif depresi sejak dini. Penjelasannya sebagai berikut:
C = Cari berbagai alternatif kegiatan yang positif dan produktif (membaca, menulis, menerjemahkan literatur asing, memasak, menjahit, menenun, menganyam, berkebun, dsb)
E = Enyahkan pikiran, prasangka, dan asumsi negatif, milikilah paradigma berpikir (mindset) yang visioner namun tetap membumi.
G = Gali dan dan maksimalkan potensi diri, libatkan keluarga, sahabat, dan tetangga terdekat.
A = Andalkan Allah sebagai tempat bersandar/berharap.
H = Hobi dilakukan secara profesional sehingga menjadi hoki.
D = Damaikan diri dengan implementasi kitab suci di kehidupan sehari-hari, mendengarkan melodi, sejenak relaksasi, dan melakukan kegiatan yang tidak bertentangan dengan nurani.
E = Empati dan simpati senantiasa ditumbuhkembangkan dari hati, salah satunya dengan cara menjadi relawan atau berderma dalam arti luas.
P = Persahabatan dan persaudaraan dengan semua orang tetap dibina dan dipertahankan tanpa pilih kasih.
R = Rajin bersilaturahmi, memeriksakan diri ke dokter, serta mengikuti seminar tentang depresi dari para ahli.
E = Etos kerja dioptimalisasi, diharmonisasikan, dan dikolaborasikan dengan etos kebudayaan sehingga tercipta peradaban dunia yang lebih beradab.
S = Seimbang, serasi, selaras di dalam olahraga, olahrasa, olahkarsa, olahjiwa.
I = Ingatlah bahwa dilema dan problematika hidup adalah cara Allah mendewasakan umat manusia.
Dengan penatalaksanaan yang komprehensif, berkesinambungan, dan strategi pencegahan yang paripurna, maka masyarakat dapat menikmati aktivitas pascamudik lebaran tanpa depresi.
*) Penulis adalah dokter digital/online, pembelajar hematopsikiatri, penulis 18 buku, sedang studi S-2 di IKD Biomedis FK UGM Yogyakarta.
Oleh dr. Dito Anurogo
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016