Jakarta (ANTARA News) - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya menyatakan tidak bergantung sepenuhnya pada data "hot spot" dalam penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
"Yang paling efektif adalah mengecek langsung di lapangan dengan sistem patroli terpadu," kata Siti Nurbaya usai halalbihalal dengan Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta, Senin.
Ia menjelaskan cara melihat data titik api harus lihat peluangnya berapa besar misal 50 persen. Itu artinya kalau dicek di lapangan, 50 persennya memang ada hot spot itu.
"Saya paling kaget itu waktu tanggal 2 atau 3 Juli, katanya ada 300 hot spot, saya nggak percaya dengan data itu dan minta direktur saya langsung turun ke lapangan," katanya.
Ia menegaskan jika kondisi datanya sudah seperti itu maka cara paling efektif adalah mengecek langsung di lapangan dengan sistem patroli terpadu.
"Memang data hot spot dari satelit menjadi acuan, tapi itu sentralnya ada di Singapura. Saya tidak mau curiga tetapi kita harus tetap waspada," ucapnya.
Menurut dia, kondisi Indonesia berbeda sehingga tidak bisa digunakan sistem hot spot itu mentah-mentah.
"Negara lain itu homogen sehingga mereka bisa pakai sistem kontrol komputer dan sejenisnya. Kalau sistem itu dipakai di Indonesia, ternyata setelah dicek di lapangan ternyata hot spot itu tobong pembakaran batu bata, tempat pembuatan arang oleh rakyat. Karena itu sistem hot spot itu tidak bisa sepenuhnya jadi acuan," tuturnya.
Sebelumnya Menteri LHK menjelaskan potensi kebakaran hutan setiap tahunnya di Indonesia dapat terbagi menjadi tiga tahap krisis. Fase pertama kebakaran hutan kerap terjadi antara awal bulan Februari hingga Maret. Krisis tahap kedua, menurut Siti, terjadi sekitar akhir Juni hingga akhir Juli.
Sedangkan krisis tahap ketiga, tutur Siti, terjadi sekitar bulan September hingga Oktober. Krisis kebakaran hutan pada fase ini biasanya dipicu akibat musim kemarau yang berlebihan atau biasa disebut fenomena el nino.
Pewarta: Agus Salim
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016