Jakarta (ANTARA News) - Mantan Menteri Negara BUMN, Laksamana Sukardi, mengaku senang diminta keterangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi atas penjualan dua kapal tanker Very Large Crude Carrier (VLCC) milik Pertamina. Laksamana yang didampingi oleh tim kuasa hukumnya tiba di Gedung KPK, Jalan Veteran, Jakarta, Selasa, sekitar pukul 11.00 WIB. "Kita diundang untuk berikan klarifikasi. Kami sih senang-senang saja, karena ini kesempatan untuk jelaskan apa adanya secara hukum. Jadi, tidak ada prasangka lagi, tidak ada fitnah-fitnah," katanya menuturkan. Laksamana baru pertama kali dimintai keterangan oleh KPK. Sedangkan di Kejagung, untuk kasus yang sama, Laksamana telah dimintai keterangan dua kali. Pendiri Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) itu mengaku tidak mengerti mengapa kasus dugaan korupsi penjualan VLCC diusut secara bersamaan oleh dua institusi yang berbeda. Namun, ia mengatakan, akan mengikuti prosedur yang ditetapkan oleh lembaga penegak hukum. "Saya juga tidak mengerti itu. Saya kan harus cari keadilan. Yang pasti itu jadinya institusi yang mana?," ujarnya. Laksamana mengaku membawa banyak dokumen untuk diserahkan kepada KPK. "Saya bawa dokumen banyak, tidak tahu nanti KPK mau lihat atau tidak," katanya. KPK telah menyelidiki kasus dugaan korupsi penjualan dua unit tanker VLCC sejak tiga tahun yang lalu. Namun, KPK mendapatkan kesulitan menghitung kerugian negara yang timbul akibat penjualan itu karena belum ditemukan harga tanker pembanding untuk dua unit tanker yang dijual itu. DPR telah meminta kepada KPK dan Kejaksaan Agung untuk mengembangkan penyelidikan kasus dugaan korupsi tersebut dan memeriksa Laksamana Sukardi. Kejagung akhirnya memulai penyelidikan kasus dugaan korupsi penjualan VLCC itu atas permintaan DPR. Laksmana mengatakan, pemeriksaan terhadap dirinya oleh Kejagung baru pada tahap mengumpulkan data. "Di kejagung baru mengumpulkan data, kalau KPK kan sudah meriksa banyak orang," ujarnya. KPK pada 2004 telah meminta keterangan mantan Direktur Utama Pertamina, Baihaki Hakim, dan Ariffi Nawawi. Saat ini, KPK bekerjasama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi Korea guna memperoleh keterangan dari Hyundai Heavy Industry, Korea Selatan. Dari hasil penyelidikan sementara berdasarkan keterangan 26 orang, yang terdiri atas 22 orang dari PT Pertamina dan empat orang luar Pertamina, KPK baru menemukan bahwa Direksi PT Pertamina telah mengabaikan Surat Dirjen Anggaran tertanggal 11 November 2003 bahwa pelepasan aset PT Pertamina harus seijin Menteri Keuangan. Selain itu, KPK juga menemukan bahwa Direksi PT Pertamina telah menunjuk langsung Goldman Sachs sebagai penasehat keuangan dan perencana penjualan dua unit kapal tanker VLCC tanpa proses tender atau pelelangan. Direksi PT Pertamina, menurut KPK, telah mengabaikan konflik kepentingan antara Goldman Sachs, dan pembeli tanker, Frontline, karena Goldman Sachs ternyata memiliki saham di Frontline. Penawaran dari Frontline itu juga dilakukan secara tertutup dan diterima oleh Pertamina tidak di hadapan notaris. Pada November 2002, PT Pertamina (Persero), yang saat itu dipimpin Baihaki Hakim, memesan dua unit VLCC dari Hyundai Heavy Industries di Ulsan Korea Selatan seharga 65 juta dolar AS per unit. Namun, dengan alasan kesulitan likuiditas, direksi baru Pertamina di bawah pimpinan Arifin Nawawi melepas dua kapal itu seharga 184 juta dolar AS pada April 2004. KPPU pada Maret 2005, memutuskan PTB Pertamina (Persero) melanggar sejumlah pasal dalam UUB Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam penjualan dua unit VLCC. KPPU memutuskan, harga jual itu jauh lebih rendah dari harga pasar yang saat itu (Juli 2005) yaitu 102 juta dolar AS-110 juta dolar AS per unit atau 204 juta dolar AS-240 juta dolar AS untuk dua kapal. Akibatnya negara kehilangan dana sebesar 20 juta dolar AS-50 juta dolar AS atau sekitar Rp180 miliar hingga Rp504 miliar. Namun, Pertamina mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas putusan KPPUB itu. Keberatan itu diterima oleh majelis hakim PNB Jakarta Pusat yang menyatakan tender pelepasan dua kapal itu telah sesuai ketentuan. Lantas, KPPU mengajukan kasasi ke MA. Pada 29 November 2005, MA memenangkan KPPU dalam sengketa perdata kasus itu dengan Pertamina. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007