Jakarta (ANTARA News) - Anggota DPR dari Komisi XI, Drajad Wibowo, mengatakan bahwa dari sisi stabilisasi makro akan sangat berbahaya jika otoritas fiskal (Departemen Keuangan) diberi kewenangan atau kuasa terhadap pencetakan uang. Menurutnya, otoritas fiskal bisa dengan mudah tergoda untuk melakukan monetisasi defisit, yakni menutup defisit anggaran dengan mencetak uang lebih banyak dari kebutuhan pasokan dan permintaan uang, sebagai akibatnya inflasi bisa meledak tidak terkendali. "Sehebat apapun otoritas moneternya, kalau dia tidak bisa mengontrol jumlah uang yang dicetak, mustahil dia bisa kendalikan inflasi. Percuma saja otoritas moneter (Bank Indonesia/BI) diberi kewenangan terhadap pengedaran mata uang, kalau dia (BI) tidak bisa mengontrol jumlah uang yang dicetak," katanya di Jakarta, Senin. Drajad menambahkan, rentang kendali Departemen Keuangan sudah terlalu luas, mulai dari pengelolaan kekayaan, perbendaharaan, hingga ke penerimaan negara dan pengendalian fiskal. "Penertiban rekening negara saja masih jauh dari memuaskan, belum lagi piutang-piutang negara yang masih terbengkalai. Kalau kekuasaannya ditambah lagi dengan mengambil kekuasaan kunci dari otoritas moneter, maka akan timbul masalah manajerial yang justeru kontra produktif bagi stabilisasi makro," katanya. Menurutnya, secara teori moneter, sebenarnya mata uang adalah kewajiban (surat utang) moneter dari bank sentral, yang dalam buku teks disebut IOU (I owe You). "Jadi sangat beralasan kalau yang tanda tangan itu adalah kepala otoritas moneter di negara yang bersangkutan, karena dialah yang mengatur mata uang," kata Drajad. Dia mencontohkan di Singapura dan Malaysia yang teken ya Gubernur Bank Sentralnya sebagai otoritas moneter. "Hal itu sudah menjadi `international best practise` (praktik internasional terbaik), baik di negara yang bank sentralnya independen maupun di bawah Departemen Keuangan (Singapura dan Malaysia). Sehingga soal disain dan pencetakan uang, wajar kalau yang tandatangan itu bank sentralnya," kata anggota DPR dari fraksi PAN tersebut.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007