Bandarlampung (ANTARA News) - Pulau Pasaran awalnya dipenuhi pohon kelapa di tahun 1960-an dan penduduknya pun hanya beberapa keluarga, namun kini pulau seluas sekitar delapan hektare itu disesaki rumah-rumah pengrajin ikan asing, sementara pantai pesisirnya dipenuhi kapal-kapal nelayan.

Aktivitas penduduk Pulau Pasaran setiap harinya selalu berkaitan dengan produksi ikan asin, dan pekerjanya datang dari kawasan Telukbetung, Bandarlampung.

Meski dikenal sebagai sentra utama produksi ikan teri asin di Provinsi Lampung, Pulau Pasaran juga kerap didatangi para pendatang untuk berwisata, berbelanja, memancing, atau berfoto. Pulau itu bisa ditempuh menggunakan perahu atau jembatan dari Telukbetung karena lokasinya yang hanya sekitar 100 meter dari pesisir Telukbetung Barat Bandarlampung.

Kondisi Pulau Pasaran yang eksotis atau memiliki daya tarik khas menjadikannya menarik bagi banyak kalangan.

Pulau Pasaran yang berpenghuni sekitar 240 kepala keluarga (KK) umumnya bekerja sebagai nelayan atau pengrajin ikan asin. Dalam sehari, para pengrajin mampu memproduksi ikan teri asin berkisar 20 s.d. 30 ton yang umumnya dipasarkan ke Jabotabek, Bandung, dan daerah lainnya di Sumatra, seperti Medan, Sumut.

Peminat ikan teri Pulau Pasaran cenderung makin banyak meski pasar dalam negeri juga kerap dibanjiri dengan teri impor asal Thailand dan Malaysia. Ikan teri tetap menjadi primadona bagi nelayan dan pengrajin karena harganya relatif cukup mahal sehingga penduduk Pulau Pasaran makin serius menggeluti usaha produksi ikan asin tersebut.

Pengrajin yang jumlahnya puluhan orang tetap berusaha keras menjadikan Pulau Pasaran sebagai sentra penghasil ikan asin terbesar di Provinsi Lampung.

Di Provinsi Lampung memang terdapat sejumlah sentra produksi ikan teri, terutama di Kabupaten Lampung Timur (Labuhan Maringgai dan Ranggai) dan Kabupaten Lampung Selatan (Ketapang). Namun, teri Pulau Pasaran yang tetap diminati karena mutunya baik, renyah atau tidak alot saat dimakan.

Rasa ikan yang gurih, renyah atau tidak alot didapatkan jika ikan asin diproses dari ikan segar, diolah secara tepat dan tidak menggunakan tambahan bahan lainnya selain garam.

Beberapa pengrajin ikan asin Pulau Pasaran menyebutkan mereka kapok menggunakan pengawet, seperti formalin, karena produk mereka menjadi tidak laku dijual.

"Sekitar 10 tahun lalu, ada berita tentang temuan penggunaan pengawet atas ikan teri asin. Saya jual ikan teri asin ke Jakarta dan Bogor, semuanya ditolak. Ikan teri Pulau Pasaran saat itu tidak laku dijual dan kami rugi besar. Sejak itu, para pengrajin hanya menggunakan garam saja saat mengolah ikan segar menjadi ikan teri asin," kata Waskarah, pengusaha ikan asin di Pulau Pasaran Bandarlampung, yang dalam sebulan memasok rata-rata 20 s.d. 30 ton ikan asin ke Jawa.

Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Bandar Lampung pada bulan Desember 2005 mengambil sampel ikan asin secara acak di Pulau Pasaran, Kota Karang dan Telukbetung, dan ditemukan ada ikan yang menggunakan pengawet berbahaya.

Menurut Waskarah, kejadian itu menjadi pembelajaran bagi para pengrajin sehingga menjauhi penggunaan bahan berbahaya itu dalam proses produksi ikan teri asin mereka.

Kini, ikan teri asin Pulau Pasaran saat dikonsumsi umumnya berasa gurih, dan renyah atau tidak alot.

Namun, jika ikan teri asin dikonsumsi terasa alot apakah disebabkan penggunaan pengawet?

Menurut pengrajin ikan asin Warjanah, jika pembuatan ikan asin kurang garam atau penjemurannya terlalu kering, ikan akan terasa alot saat dimakan.

Oleh karena itu, mutu produksi ikan asin yang harus dijaga baik. Agar mutu teri asin juga berkualitas baik, penggunaan garam yang takarannya pas serta penjemurannya tidak terlalu kering.


Rebus di Laut

Cara lainnya yang ditempuh pengrajin untuk menjaga mutu produknya adalah melakukan perebusan ikan di tengah laut.

Pada era 1960 s.d. 1970, ikan teri segar dijaring nelayan Pulau Pasaran di sekitar perairan pulau itu. Nelayan paling jauh menangkap ikan teri di Pulau Tegal yang lokasinya tidak jauh dari Pulau Pasaran. Ketika itu, pencemaran masih sedikit dan populasi ikan banyak. Kondisi itu memungkinkan pembuatan ikan asin dilakukan seluruhnya di Pulau Pasaran.

Kini, produksi ikan asin dilakukan di tengah laut dan di daratan.

Para pengrajin berusaha menjaga mutu teri asinnya dengan segera merebus teri segar di tengah laut. Jika direbus di daratan, kondisi ikan akan terlanjur rusak dan anyir, sedang kondisi air di pantai sudah tercemar berat.

Ikan teri yang ditangkap nelayan di bagan-bagan yang tersebar di Teluk Lampung, termasuk di perairan Legundi dan Gunung Anak Krakatau, dibeli para pengrajin ikan asin. Itulah sebabnya para pengrajin ikan asin selalu memiliki kapal yang digunakan untuk membeli ikan di tengah laut.

Satu kapal memiliki awak sebanyak empat hingga lima orang. Upah awak kapal itu per orang mencapai Rp300 ribu per malam karena mereka juga ditugaskan untuk segera merebus ikan di laut. Jika hasil tangkapan tidak ada atau minim sekali, upah mereka turun menjadi Rp100 ribu per malam.

Menurut Warjanah, dibutuhkan biaya berkisar Rp10 juta s.d. Rp20 juta per kapal untuk sekali melaut, yakni untuk biaya bahan bakar, gaji awak kapal, dan membeli ikan segar.

Kapal-kapal itu berangkat siang dari Pulau Pasaran. Setelah berlayar sekitar 2 s.d. 4 jam bisa mencapai perairan Legundi dan Krakatau. Setelah ikan dibeli dan direbus, kapal kembali ke daratan menjelang subuh agar ikan bisa segera dikeringkan di Pulau Pasaran.

"Rebus di laut adalah salah satu cara menjaga mutu serta menghindari penggunaan pengawet," katanya.

Ia menambahkan bahwa dirinya tinggal di Pulau Pasaran sejak 1979 dan saat itu penduduknya sebanyak 80 KK.

Pengalaman pahit memang telah menjadikan para pengrajin ikan asin Pulau Pasaran lebih hati-hati. Mereka hanya menggunakan garam sebagai tambahan bahan dalam produksi ikannya.

Kini, kualitas ikan asin dari Pulau Pasaran tidak kalah dengan produk ikan teri dari daerah lain, seperti teri medan. Teri Pulau Pasaran itu memiliki spesifikasi perut utuh dan kepala tidak patah, yang menandakan mutunya bagus karena diolah dari ikan segar.

Harga ikan teri Pulau Pasaran juga makin kompetitif, yakni berkisar Rp35 ribu s.d. Rp60 ribu/kg sehingga permintaan atas produksi ikannya cenderung makin banyak, termasuk dari Sumut yang terkenal dengan teri medan.

Sehubungan dengan itu para pengrajin menyebutkan mereka saling mengawasi dan mengingatkan agar tidak ada pengrajin yang menggunakan bahan berbahaya karena dampaknya akan menghancurkan produksi ikan asin di Pulau Pasaran Bandarlampung.

Selain itu, pemerintah juga diminta lebih serius mengembangkan Pulau Pasaran sebagai kawasan minapolitan dengan menjadikannya sebagai sentra produksi dan pemasaran komoditas perikanan dengan mengoptimalkan fasilitas teknologi dan informasi.

(H009/D007)

Oleh Hisar Sitanggang
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016