Yogyakarta (ANTARA News)- Seorang pakar sosial dan politik di Yogyakarta menilai 'demam Tukul' yang terjadi saat ini tidak akan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat.
"Acara yang dibawakan oleh Tukul sebenarnya hanya sebuah hiburan yang dikomersialkan oleh pebisnis televisi," kata Prof Sunyoto Usman PhD, akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Senin.
Dunia hiburan seperti halnya acara `Empat Mata` memang dihadirkan untuk mengikuti selera pasar. Pasar sendiri menghendaki hiburan yang gampang dicerna, instan, dan tidak memerlukan interpretasi untuk mengetahui maksudnya.
Lawakan yang dilontarkan Tukul memang gampang dicerna, tidak seperti lawakan lain, misalnya 'Bagito` atau ludruk yang bagi pendengar umum perlu 'mikir' untuk mengetahui pesan yang akan disampaikan.
Mengomentari tentang aksi `mengolok-olok` yang menjadi ciri acara berdurasi satu setengah jam itu, ia mengatakan hal itu hanya merupakan cara untuk menghadirkan kesan lucu.
Ungkapan `Puas...puas!!!` yang dikeluarkan Tukul tiap selesai diolok-olok, bukan suatu ungkapan menghina. Dalam dunia lawak memang seperti itu, jika tampil dengan format kuartet, trio, atau duet biasanya salah satu akan dikorbankan untuk menjadi bahan olok-olokkan.
Dalam acara yang ditayangkan Trans7 ini, Tukul tampil bersama bintang tamu, sehingga yang menjadi bahan ejekan adalah bintag tamu atau dirinya sendiri.
Ditanya mengenai kontribusi lawakan Tukul bagi pendidikan, Sunyoto mengatakan tidak ada kontribusi signifikan terhadap pendidikan masyarakat, karena ini sekedar seni massal yang tujuannya menghibur semua lapisan.
"Lawakan semacam ini mudah dicerna dan akan membuat penonton tertawa sejenak," katanya.
Menurutnya, inilah bukti kehebatan para pemilik modal untuk mengeksploitasi sesuatu guna memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Ketenaran sosok Tukul ini merupakan sesuatu yang 'unpredictable', dari seseorang yang dianggap remeh menjadi seseorang yang terkenal. Suatu saat nanti masyarakat akan jenuh sendiri kemudian akan diganti sosok lain, katanya.
Tukul sendiri, kata dia, memiliki kekuatan melakukan dekonstruksi yang hebat, artinya bintang tamu yang identik dengan sesuatu yang `glamour`, cakep, dan `untouchable` dijadikannya sebagai seseorang yang biasa saja.
Sedangkan televisi sendiri memiliki kemampuan melakukan dekonstruksi pemirsa bahwa `host` tidak harus cakep dan pintar.
Ketika ditanya tentang fenomena `laptop tukul` dan `laptop DPR`, Sunyoto mengatakan bahwa anggota DPR hanya mencari alasan pembenaran saja dengan menjadikan Tukul sebagai stimulan untuk mendapatkan fasilitas laptop. (*)
Copyright © ANTARA 2007