Jakarta (ANTARA NEws) - Mantan Pimpinan Tertinggi Gereja Katolik Timor-Timur (kini Timor Leste) Uskup Carlos Felipe Belo, mengatakan lepasnya Timtim dari Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui jajak pendapat pada 1999, merupakan bukti kedua pihak, baik Indonesia maupun Timor Leste, gagal menjalin solidaritas dan toleransi.
"Saya sebenarnya lebih suka membicarakan masa depan daripada masa lalu, karena masa lalu itu pahit dan sangat perih bagi Indonesia dan Timor Leste," katanya, saat memberikan keterangan pada dengar pendapat ke-2 Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) RI-Timor Leste, di Jakarta, Senin.
Uskup Belo mengungkapkan pasca pengumuman jajak pendapat pada 4 September 1999, banyak rumah dan perkantoran yang dibakar, diselingi rentetan suara tembakan dan sekitar 5.000 orang terpaksa mengungsi.
Namun, bagaimana pun apapun yang terjadi pada masa lalu harus diungkap untuk mencari kebenaran.
"Apa yang terjadi pada masa lalu menunjukkan kita gagal dalam praktek solidaritas dan toleransi," katanya dalam paparannya selama 30 menit itu.
Dalam pernyataan yang disampaikan dalam bahasa Portugis, Uskup Belo mengharapkan keterangan yang disampaikannya dapat memberikan kontribusi positif bagi berkembangnya rekonsiliasi dan dan perdamaian antara Indonesia dan Timor Leste.
"Saya sudah menempuh perjalanan jauh dan saya berharap dapat memberikan kontribusi besar bagi perkembangan rekonsiliasi dan perdamaian Indonesia-Timor Leste," katanya.
Belo juga mengemukakan kedatangannya dalam dengar pendapat II KKP RI-Timor Leste itu dapat memberikan sumbangan pikiran agar tidak terjadi lagi pelanggaran HAM di Timor Leste.
Dalam dengar pendapat kedua KKP RI-Timor Leste yang bertema "Mengungkap Kebenaran Masa Lalu, Memperkokoh Persahabatan", selain Uskup Belo, pada Senin (26/3) akan diminta keterangan pula Domingus Soares (mantan Bupati Dili), dan Martinho Fernandes (mantan Bupati Viqueque). (*)
Copyright © ANTARA 2007