Jakarta (ANTARA News) - Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) RI-Timor Timur akan meminta keterangan mantan Presiden BJ Habibie pada Selasa (27/3) terkait pengungkapan kebenaran akhir berkenaan dengan tindak kekerasan sebelum dan sesudah jajak pendapat di Timor-Timur pada 1999. "Atas permintaan beliau (Habibie-red), dan sesuai ketentuan memang dimungkinkan oleh KKP dengar pendapat diadakan secara tertutup, yakni hanya dihadiri secara terbatas oleh pleno KKP," kata Ketua Bersama KKP Benjamin Mangkoedilaga, di Jakarta, Senin. Ia mengatakan, Habibie yang menjabat sebagai Presiden saat berlangsungnya jajak pendapat akan dimintai keterangan di kantor "Habibie Center" di daerah Kemang, Jakarta Selatan. Usai meminta keterangan mantan Presiden Habibie, KKP akan langsung mengadakan jumpa pers di Hotel Crowne, tempat berlangsungnya dengar pendapat II KKP pada 26-30 Maret 2007. Lebih lanjut Benjamin mengatakan, keterangan dan kesaksian dari Habibie diharapkan dapat memberikan pemahaman utuh tentang berbagai kebijakan politik menjelang jajak pendapat, termasuk dinamika hubungan dan koordinasi dengan pihak internasional dalam hal ini PBB. Selain Habibie, yang akan dimintai keterangan terkait dugaan pelanggaran HAM pasca jajak pendapat pada 30 Agustus 1999, salah satunya pimpinan tertinggi Gereja Katolik Timtim saat itu, Uskup Belo. "Kami berharap dari kalangan tokoh dan pelaku sejarah ini akan diperoleh informasi dan pemahaman yang lebih lengkap terkait masalah Timtim sebelum dan sesudah jajak pendapat serta pengalaman Uskup Belo dengan berbagai aspek peristiwa pada 1999," katanya. Bacharuddin Jusuf Habibie menjabat sebagai Presiden mulai 21 Mei 2008 hingga 20 Oktober 1999. Selama menjabat, ia melakukan reformasi dan langkah demokratisasi dalam kehidupan politik Bangsa Indonesia. Terkait masalah Timtim , Habibie menyetujui diberlakukannya otonomi khusus bagi propinsi Timtim pada Juni 1998 yang memberi kewenangan luas pada pemerintah daerah setempat, kecuali urusan pertahanan, keuangan atau moneter dan hubungan luar negeri. Pada Desember 1998, ia melakukan perubahan kebijakan dengan menyetujui diselenggarakannya jajak pendapat bagi rakyat Timtim untuk menerima otonomi khusus (otsus) dalam bingkai NKRI (opsi I) atau menolak Otsus (opsi II) . Hasilnya 78,5 persen rakyat menolak otonomi khusus sehingga berakibat keluarnya Timtim dari NKRI. Penyelenggaraan jajak pendapat diwarnai tindak kekerasan dan beberapa kejadian kemudian digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat berdasarkan penyelidikan dan penyidikan Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM di Timtim, Kejaksaan Agung RI, serta unit kejahatan berat pada Jaksa Penuntut Umum Timor Timur. Terkait kerusuhan dan instabilitas di Timtim, Habibie memberlakukan darurat militer di Timtim melalui Keppres No.107/1999 tertanggal 7 September 1999. Dengan kondisi yang tidak terkendali, Habibie menyetujui kehadiran pasukan multinasional di Timtim (INTERFET) pada 12 September 1999.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007