Jakarta (ANTARA News) - Vaksin palsu yang diungkap Badan Reserse Kriminal Mabes Polri berawal dari laporan masyarakat dan pemberitaan media massa tentang bayi yang meninggal dunia setelah diimunisasi.
Praktik pembuatan vaksin palsu itu disebut-sebut telah berlangsung selama 13 tahun. Orang tua yang pernah mengimunisasi anaknya dalam rentang 13 tahun belakangan ini tentu risau, jangan-jangan anaknya termasuk yang mendapatkan vaksin palsu.
Soal vaksin betul-betul membikin masyarakat runsing (resah).
Keresahan para orang tua itulah yang kemudian mendorong sebuah petisi daring dimulai di laman change.org. Adalah Niken Rosady dengan mengatasnamakan Orang Tua Sadar Imunisasi Indonesia yang memulai petisi tersebut.
Pada Selasa, atau hanya satu hari sejak petisi itu dimulai, sudah ada belasan ribu orang yang mendukung. Hingga pukul 11.15 WIB, pendukung petisi itu mencapai 17.942 orang.
"Setiap orang tua akan berusaha memberikan yang terbaik bagi anaknya, termasuk dalam hal kesehatan dengan memberikan imunisasi sejak bayi baru lahir," tulis Niken dalam petisinya.
Imunisasi lengkap dan teratur akan menimbulkan kekebalan spesifik yang mampu mencegah penularan wabah, sakit berat, cacat atau kematian akibat penyakit.
Hingga saat ini, 194 negara telah menyatakan imunisasi terbukti aman dan bermanfaat untuk mencegah sakit berat, wabah, cacat dan kematian akibat penyakit berbahaya.
Namun, rasa aman di balik penggunaan vaksin terusik dengan pengungkapan kasus pemalsuan vaksin di Bekasi.
"Yang lebih mengerikan, ternyata tindakan pemalsuan ini telah dilakukan sejak 2003. Artinya, sindikat pemalsu vaksin ini telah beroperasi selama 13 tahun dan telah tersebar ke beberapa daerah di Indonesia," tulisnya.
Karena itu, dalam petisinya Niken mengajak para orang tua Indonesia untuk mendukung penyidikan kasus tersebut dan meminta Polri mengusut tuntas tindakan pemalsuan vaksin serta menindak tegas para pelaku.
Petisi tersebut juga meminta pemerintah, Bareskrim dan pihak berwenang lainnya untuk menarik semua vaksin yang saat ini beredar dan menggantinya dengan vaksin yang asli dan aman guna menjamin keamanan dan perlindungan kesehatan bayi-balita Indonesia.
Niken juga meminta nama-nama distributor, rumah sakit, klinik dan institusi kesehatan yang terindikasi dan terbukti menggunakan vaksin palsu diumumkan serta vaksinasi ulang terhadap anak-anak yang lahir antara 2003 hingga 2016 untuk menjamin generasi yang sehat dan bebas penyakit berbahaya.
Selain itu, Niken juga mendesak Badan Pengawas Obat dan Makanan lebih agresif dalam mengawasi distribusi vaksin dan obat-obatan pada umumnya.
Tanggung Jawab
Pengungkapan pembuatan vaksin palsu itu pada akhirnya menyeret Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk dimintai pertanggungjawaban. Dua lembaga itu dinilai tidak optimal dalam menjalankan fungsi pengawasan.
"Praktik pemalsuan sampai 13 tahun dan sudah beredar di seluruh Indonesia. Kemenkes dan Badan POM bisa dikatakan tidak menjalankan fungsinya, sesuai kapasitas yang dimilikinya," kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
"Anak dengan kelahiran 2004 dan seterusnya, berpotensi menjadi korban vaksin palsu. YLKI siap memfasilitasi gugatan class action tersebut, guna memberikan pelajaran kepada pemerintah karena lalai tidak melakukan pengawasan, dan masyarakat menjadi korban akibat kelalaiannya itu," katanya.
Tenaga Kesehatan
Kasus vaksin palsu itu juga mengarahkan kecurigaan masyarakat kepada keterlibatan tenaga kesehatan yang masih aktif bertugas di institusi kesehatan. Apalagi, salah satu tersangka yang pertama kali ditangkap polisi diketahui pernah bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit swasta di Bekasi.
"Komisi IX secara resmi telah meminta Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk menuntaskan masalah ini sampai ke akar-akarnya, termasuk proses produksi dan distribusi vaksin palsu," kata anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengatakan setidaknya ada dua fakta yang mengindikasikan keterlibatan tenaga kesehatan yang masih aktif bertugas di institusi kesehatan.
Fakta pertama adalah pelaku dengan mudah mendapatkan bahan baku, termasuk kemasan vaksin asli bekas yang merupakan limbah medis di rumah sakit. Kedua, pelaku dengan mudah memasarkan produksinya ke berbagai institusi kesehatan.
Saleh menduga kasus vaksin palsu itu melibatkan pihak lain selain para tersangka yang sudah ditangkap polisi. Sangat mungkin banyak orang yang terlibat dalam pembuatan dan penyaluran vaksin palsu.
"Bisa saja sudah ada jaringan khusus yang membantu para pemalsu menyediakan kemasan vaksin asli bekas," tuturnya.
Fakta bahwa pelaku pemalsu vaksin menggunakan kemasan vaksin asli bekas juga menunjukkan pengelolaan limbah medis di rumah sakit masih sangat buruk. Lagi-lagi Kementerian Kesehatan disorot karena lemah dalam pengawasan.
"Pengawasan terhadap pengelolaan limbah medis di rumah sakit merupakan salah satu hal yang perlu disorot dalam kasus vaksin palsu," ujarnya.
Karena itu, kasus vaksin palsu juga harus menjadi pemicu Kementerian Kesehatan untuk memperketat pengawasan pengelolaan limbah medis di rumah sakit. Selain meminimalkan bahaya yang mungkin muncul dari limbah media, pengawasan ketat juga untuk menghilangkan potensi pemanfaatan untuk tujuan lain.
Pengusutan kasus vaksin palsu juga harus menyentuh kemungkinan pihak lain yang menyediakan limbah medis berupa kemasan vaksin asli bekas kepada para pelaku. Pihak lain itu bisa saja petugas kebersihan, petugas administrasi, perawat bahkan dokter.
"Bila ada keterlibatan pihak lain tersebut, semua harus dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Saleh.
Oleh Dewanto Samodro
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016