London (ANTARA News) - Pertanyaan soal apakah Inggris masih akan tetap bertahan atau meninggalkan Uni Eropa masih belum terjawab meski hasil referendum sudah jelas.

Hingga kini masih belum ada indikasi kapan Brexit--keluarnya Inggris dari Uni Eropa--akan terjadi. Reuters bahkan menulis Brexit mungkin saja tidak akan pernah terjadi.

Mengingat hasil referendum pada Kamis lalu tidak mengikat secara hukum, sejumlah politisi mengusulkan agar pihak parlemen menggelar voting terlebih dahulu sebelum secara formal memulai proses keluar dari Uni Eropa.

Selain itu, tekanan dari publik untuk menggelar referendum kedua juga semakin besar dengan petisi yang ditandatangani tiga juta orang hanya dalam dua hari.

Lalu pada Ahad, pemimpin Skotlandia mengancam akan memveto hasil referendum. Dalam aturan devolusi menurut Majelis Bangsawan, parlemen Skotlandia, Irlandia Utara, dan Wales harus menyetujui setiap keputusan Britania Raya untuk keluar dari Uni Eropa.

Namun demikian, sebagian besar politisi Inggris sepakat bahwa perpisahan dengan Uni Eropa harus terjadi mengingat hasil referendum menyatakan demikian. Keputusan yang berlawanan akan dianggap sebagai tamparan bagi demokrasi.

"Kehendak rakyat Inggris adalah perintah yang harus dilaksanakan," kata Cameron dalam pidato pengunduran dirinya.

Tapi, perbincangan mengenai Regrexit--menyesal jika keluar--masih menjadi topik hangat di sosial media akibat hasil referendum yang memicu goncangan finansial dan politik besar.

Mata uang poundsterling terus anjlok sementara dua partai politik utama terpecah. Di Partai Konservatif, kepemimpinan Cameron hampir pasti akan digantikan tokoh lain. Sementara di Partai Buruh, Jeremy Corbyn harus menghadapi revolusi internal, dengan sembilan tokoh yang baru saja menyatakan mundur.

"Kaledoskop di Inggris tidak hanya mengguncang hubungan dengan Uni Eropa tetapi juga soal siapa yang akan memimpin partai-partai dan siapa yang akan memerintah," kata Anand Menon, Profesor Politik Eropa dan Hubungan Internasional dari Kings College London.

Perdebatan proses keluar

Dalam Pakta Lisbon Pasal 50 yang merupakan konstitusi Uni Eropa, disebutkan bahwa keluarnya suatu negara dari blok tersebut harus dilakukan dengan segera. Pada akhir pekan lalu, sejumlah pejabat Eropa mengatakan bahwa Inggris harus menaati aturan tersebut--kemungkinan di tengah pertemuan Uni Eropa pada Kamis.

Namun, tokoh politik pendukung Brexit justru menyatakan sebaliknya. Mereka ingin merundingkan terlebih dahulu hubungan Uni Eropa dengan Inggris sebelum resmi berpisah.

Beberapa tokoh mengatakan bahwa perundingan itu akan berjalan a lot dalam hal-hal krusial.

Sebagai contoh, Uni Eropa kemungkinan besar tidak akan memberikan akses pasar bebas bagi Inggris--yang sangat krusial mengingat sebagian besar ekspor Inggris adalah ke sesama negara Eropa--tanpa persetujuan kebebasan keluar masuk bagi pekerja asing (migran).

Namun, isu terbesar dalam referendum yang membuat pihak Brexit menang adalah isu pekerja asing tersebut.

Britania yang terpecah

Pada Ahad, sebuah petisi yang mendesak referendum kedua telah ditandatangani oleh 3,3 juta orang.

Selain referendum kedua, tentangan paling keras juga muncul dari Skotlandia. Di tempat itu, pendukung Inggris untuk tetap bertahan di Uni Eropa mencapai 62 persen dalam referendum. Jauh berbeda dengan Inggris yang 54 persen penduduknya memilih keluar.

Persoalan menjadi tambah rumit jika mengingat aturan devolusi terhadap negara-negara yang tergabung dalam Britania Raya. London harus mendapat persetujuan dari Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara sebelum memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa.

Menteri Utama Skotlandia, Nicola Sturgeon, kepada BBC mengatakan bahwa dia akan meminta parlemen untuk memveto hasil referendum Brexit. Tapi masih belum jelas apakah skenario itu bisa terlaksana atau mengikat secara hukum.

Selain itu, Sturgeon juga tengah mempersiapkan referendum lain, yaitu kemerdekaan Skotlandia dari Britania Raya, demikian Reuters melaporkan.

(Uu.G005)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016