London/Berlin (ANTARA News) - Jerman dan Prancis, pada Sabtu, memimpin desakan agar Inggris segera merundingkan proses pemisahan dari Uni Eropa (EU).
Paris memperingatkan bahwa, jika tidak, populisme (paham yang menjunjung tinggi hak rakyat kecil) akan mulai memunculkan pengaruhnya setelah hasil referendum, yang memutuskan Inggris keluar dari EU, mengejutkan dunia, lapor Reuters.
Bank Sentral Eropa menambah tekanan tersebut dengan mengatakan bahwa industri keuangan Inggris, yang mempekerjakan 2,2 juta orang, akan kehilangan haknya untuk melayani para pelanggan di EU. Kondisi itu bisa dihindari jika Inggris mendaftarkan diri ke pasar tunggal EU.
Keputusan Inggris untuk meninggalkan EU, kelompok dengan perdagangan terbesar di dunia, menjadi pukulan terbesar sejak Perang Dunia terhadap upaya Eropa untuk membina kesatuan yang lebih luas.
Di Inggris sendiri, perpecahan kian luas setelah hasil referendum pada Kamis memutuskan Inggris untuk keluar keanggotaan Uni Eropa.
Menteri pertama Skotlandia mengatakan ia ingin membuka perundingan secara langsung dengan Brussel, ibu kota negara Belgia yang menjadi tempat keberadaan markas besar Uni Eropa.
Ia mengatakan bahwa pilihan untuk referendum kedua bagi kemerdekaan harus menjadi "pembahasan".
Perdana Menteri David Cameron mengumumkan, Jumat (24/6), ia akan mengundurkan diri setelah rakyat Inggris, dengan perbandingan suara 52-48 persen, memilih keluar dari Uni Eropa.
Hasil referendum itu membuat pasar modal global jatuh dan mengakibatkan mata uang Inggris, sterling, dalam satu hari jatuh nilainya paling buruk dalam sejarah.
Cameron berjanji untuk tetap menjadi pelaksana perdana menteri hingga Oktober, yaitu ketika Partai Konservatif memilih pemimpin baru.
Cameron mengatakan terserah pada penggantinya nanti untuk memberi tahu Uni Eropa secara resmi bahwa Inggris ingin keluar dari EU, berdasarkan Traktat Lisabon.
Traktat itu memberi waktu dua tahun bagi negara anggota untuk menjalankan proses pemisahan.
Para pemimpin Eropa menerangkan bahwa kemungkinan adanya ketidakpastian selama berbulan-bulan, sebelum pembicaraan bisa dimulai, sebagai hal yang tidak dapat diterima oleh ke-27 negara anggota EU.
"Proses in harus dijalankan sesegera mungkin sehingga kita tidak dibiarkan tanpa kepastian, sebaliknya supaya kita bisa memusatkan perhatian pada masa depan Eropa," kata Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier.
Steinmeier mengatakan hal itu setelah menyelenggarakan pertemuan bagi para mitranya dari keenam negara pendiri Uni Eropa, yaitu Jerman, Prancis, Italia, Belanda, Belgia dan Luksemburg.
Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Marc Ayrault memperingatkan bahwa keterlambatan perundingan soal proses pemisahan bisa berbahaya.
"Kita harus memberikan logika yang baru kepada Eropa. Jika tidak, populisme akan mengisi kesenjangan itu," ujarnya.
(Uu.T008)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016