Belakangan ada wacana pemberlakuan lagi kebijakan 3 in 1 yang diuji-coba bulan depan, juga pemberlakukan plat nomor kendaraan bermotor ganjil-genap di jalan raya, tilang kertas biru bagi pengendara pelanggar aturan lalu-lintas, hingga sistem berbayar di jalan raya.
Dia berpendapat wacana-wacana itu tidak efektif dan rawan manipulasi para praktik di lapangan. "Pengawasan akan sulit apalagi kalau kendaraan berjalan cepat," kata dia, di Jakarta, Kamis (23/6).
Penelitian menyatakan, kerugian material yang terukur dari kemacetan lalu-lintas Jakarta paling sedikit Rp150 triliun setahun. Ini belum ditambah paramater kualitatif dan kerugian produktivitas serta lingkungan hidup.
Pemberlakuan plat ganjil dan genap mengikuti tanggal berlaku juga dilihatnya rawan manipulasi. Bukan apa-apa, akal-akalan pengendara yang curang akan bekerja untuk mengganti-ganti plat nomor kendaraan.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan membeli lagi mobil atau sepeda motor tambahan --baru atau bekas-- sekedar untuk mencari nomor plat kendaraan yang sesuai dengan aturan itu. Ini akan menambah jumlah kendaraan bermotor dan ujung-ujungnya akan menambah parah kemacetan Jakarta.
Juga tentang tilang biru untuk pengendara yang melanggar, yang dia katakan belum memberikan efek jera. "Kalau diambil mobilnya baru ada efeknya," kata pengusaha yang juga memiliki jaringan agen kendaraan bermotor dari Jepang itu.
Ia mengajak masyarakat melihat akar permasalahan kemacetan Jakarta, yaitu pertumbuhan volume kendaraan yang terlalu laju dibarengi ketersediaan transportasi publik yang jauh panggang dari asap bagi keperluan nyata warga DKI Jakarta.
Sejak dihapusnya sistem 3 in 1, perubahan perilaku pengendara membuat kemacetan bertambah karena titik macet belum terpetakan secara baik.
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016