London (ANTARA News) - Mahasiswa Indonesia di Belanda menyebutkan rencana Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan reklamasi pulau dan membentuk Giant Sea Wall sebagai bentuk pertahanan pesisir sebagai ide ketinggalan zaman dan ditinggalkan oleh negara maju, seperti Belanda.
Hal ini merupakan salah satu kesimpulan diskusi "Reklamasi Teluk Jakarta" yang diadakan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belanda bekerja sama dengan PPI Kota Den Haag dan Forum Diskusi Teluk Jakarta di Kampus International Institute of Social Studies, Den Haag, akhir pekan.
Sekretaris Jenderal PPI Belanda, Ali Abdillah kepada Antara London, Selasa menyebutkan diskusi digelar usai pelajar dari berbagai latar belakang keilmuan ini menonton film dokumentar tentang reklamasi teluk Jakarta bertajuk "Rayuan Pulau Palsu."
Mahasiswa program Doktoral dari University of Twente, Hero Marhaento memaparkan ironi proyek Reklamasi Teluk Jakarta dan Giant Sea Wall yang dibantu perusahaan dan konsultan asal Belanda. Pasalnya, di Belanda, jelas kandidat doktoral di bidang Water Engineering ini, pendekatan hard infrastructure seperti reklamasi pulau dan pembuatan tanggul besar semacam itu sudah lama ditinggalkan.
Disaat pembangunan di Belanda mulai meninggalkan konsep konvensional berupa hard-infrastructure seperti pembuatan tanggul raksasa atau reklamasi pulau, pakar dan konsultan Belanda malah menyarankan pembuatan Giant Sea Wall bagi masalah banjir Jakarta, jelasnya.
Dikatakannya saat ini pertahanan pesisir di Belanda dilakukan dengan cara "sand nourishment" yaitu pembuatan jebakan pasir di wilayah rawan abarasi, bukan dengan membuat tanggul raksasa di tengah laut. Selain itu, upaya mitigasi banjir di Belanda justru dilakukan dengan merobohkan tanggul sungai yang sudah ada dan menggantinya dengan konsep "Room for the River".
Dua metode tersebut terbukti jauh lebih murah, lebih efektif dan ramah lingkungan dibandingkan dengan upaya hard-infrastructure seperti reklamasi pulau dan pembuatan tanggul raksasa.
Lebih lanjut, Hero menjelaskan negara maju mulai sadar pertahanan pesisir itu tak bisa dibebankan kepada tangan manusia dengan pembentukan hard infrastructure. Upaya pertahanan pesisir dengan membangun tembok raksasa dan reklamasi pulau justru akan memunculkan masalah baru di masa mendatang.
Edwin Sutanudjaja, post-doktoral di bidang Hidrologi dari Utrecht University juga berpendapat senada. Edwin membantah argumentasi proyek reklamasi dan pembuatan Giant Sea Wall ini dapat menjawab persoalan banjir dan penurunan permukaan tanah di Jakarta.
Dikatakannya penurunan muka tanah Jakarta justru disebabkan pembangunan yang tidak terkendali. Pembangunan mall dan properti dilakukan dimana-mana, jadi solusinya bukan reklamasi melainkan pengendalian pembangunan. Menurut Edwin akar masalahnya adalah sentralisasi Jakarta dan urbanisasi.
Selain itu, Edwin mengkhawatirkan Teluk Jakarta justru akan menjadi septic tank raksasa. Membuat tanggul raksasa artinya membendung air dari 13 anak sungai di Jakarta yang bermuara ke perairan mati.
Senada dengan Edwin, Hero menutup diskusi dengan mengatakan reklamasi bukanlah solusi bagi Jakarta. Untuk memperbaiki lingkungan diperlukan rehabilitasi, bukan reklamasi, ujarnya.
Rayuan Pulau Palsu
Sebelum diskusi diputar film "Rayuan Pulau Palsu," produksi WatchDoc, yang disutradarai Randi Hernando mengisahkan tentang nelayan di Muara Angke yang harus berhadapan dengan kekuatan pemodal melakukan ekspansi properti lewat reklamasi di Teluk Jakarta.
Sekretaris Jenderal PPI Belanda, Ali Abdillah mengatakan berdasarkan informasi dari WatchDoc, ini adalah kali ketiga pemutaran film Rayuan Pulau Palsu di luar negeri setelah sebelumnya dilakukan di Melbourne dan London.
Dikatakannya pemutaran film ini untuk memberikan gambaran kepada pelajar Indonesia di Belanda bahwa ada yang salah dengan pembangunan di Jakarta. "Bukan kita menolak pembangunan, bukan kita tidak mau Jakarta dan Indonesia yang lebih baik, tapi kita ingin pembangunan yang memperhatikan aspek kemanusiaan dan berpihak kepada masyarakat kecil, demikian Ali Abdillah.
Pewarta: Zeynita Gibbons
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016