Jakarta (ANTARA News) - Pembahasan usulan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk 23 badan perusahaan milik negara (BUMN) sebesar Rp34,13 triliun antara Komisi VI DPR dengan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro berlangsung alot.
Dipimpin Ketua Komisi VI DPR Teguh Juwarno, Rapat Kerja yang dimulai pukul 16:00 WIB itu hingga pukul 21:00 WIB masih berlangsung dan belum menghasilkan keputusan terkait dengan rencana suntikan modal untuk BUMN yang bersumber dari APBN 2016 .
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pada awal rapat memaparkan rencana usulan PMN kepada 23 BUMN yang merupakan lanjutan dari Rapat Paripurna DPR pada 30 Oktober 2015 yang mengamanatkan bahwa pembahasan PMN dikembalikan kepada komisi-komisi terkait.
Menurut Bambang, total PMN sebesar Rp34,31 triliun tersebut terdiri atas Rp31,75 triliun dalam bentuk PMN tunai, selebihnya Rp2,9 triliun non-tunai.
PMN tertinggi diusulkan diberikan kepada PT PLN sebesar Rp10 triliun, namun dalam rapat tersebut Menkeu mengusulkan adanya tambahan sebesar Rp13,5 triliun untuk perusahaan listrik "plat merah" tersebut.
"Pemberian PMN untuk mewujudkan kegiatan prioritas misalnya kedaulatan energi, membangun infrastruktur, penguatan sektor keuangan, serta mendukung pengembangan industri strategis," ujar Bambang.
Sedangkan PMN untuk PLN, lebih digunakan untuk membiayai proyek kelistrikan yang tidak layak secara ekonomis, serta untuk menjaga arus kas (cash flow) perusahaan.
Meski Bambang memberi gambaran usulan alokasi PMN tersebut, namun sebagian anggota Komisi VI berpendapat berbeda terutama soal urgensi, efektifitas pemberian suntikan modal tersebut.
Anggota Komisi VI dari Fraksi Demokrat Sartono Hutomo mengatakan dalam situasi ekonomi yang melambat yang ditandai dengan pemotongan APBN di sejumlah Kementerian dan Lembaga, pemberian PMN kepada BUMN mencederai rasa kadilan.
"Benar ada semangat untuk mendorong kemandirian energi, infrastruktur dan pangan, namun situasinya saat ini berbeda. Semua proyeksi dan asumsi pertumbuhan ekonomi meleset, sehingga perlu empati dan memahami betul soal kondisi ekonomi," kata Sartono.
Sementara itu, anggota lainnya Nasril Bahar dari Fraksi PAN mempertanyakan soal administrasi dalam pembahasan PMN yang menghadirkan Menteri Keuangan bukan Menteri BUMN selaku kuasa pemegang saham BUMN.
"Saya ingin diperjelas soal pelaksanaan rapat ini, supaya apa yang dibicara dalam Rapat Kerja soal PMN ini sah secara aturan," ujar Nasril.
Diketahui, hubungan Komisi VI DPR dengan Menteri BUMN Rini Soemarno memburuk sejak terkuaknya kasus korupsi di PT Pelindo II (Persero).
Untuk membongkar dugaan patgulipat dalam proyek tersebut, Komisi VI membentuk panja Pelindo II yang salah satu kesimpulannya menyarankan Presiden Jokowi untuk mencopot Menteri BUMN dan dilarang melakukan rapat dengan Komisi VI.
Untuk itu Presiden Jokowi mengeluarkan Perpres Nomer R-39/Pres/06/2016 tertanggal 15 Juni 2016, untuk menunjuk Menkeu Bambang Brodjonegoro untuk melakukan rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI.
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016