Jakarta (ANTARA News) - "Reveal their secret, protect our own" (Ungkap rahasia mereka, lindungi rahasia kita) adalah motto dari the Australian Cyber Security Centre (ACSC), Pusat Keamanan "Cyber" Australia yang baru didirikan pada 2014.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Panjaitan, didampingi Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komjen Pol Tito Karnavian, mantan Menteri Sekretaris Kabinet Andi Widjojanto dan sejumlah pejabat lainnya bertamu pada 9 Juni 2016 ke markas ACSC yang berada dalam satu gedung Ben Chifley di Canberra, Australia.
Gedung itu menyatukan Badan Pertahanan, Kejaksaan Agung Australia, Organisasi Intelijen Keamanan Australia (Australian Security Intelligence Organisation atau ASIO), Kepolisian Federal Australia (Australian Federal Police/AFP) dan Komisi Kriminal Australia (Australian Crime Commission atau ACC).
ACSC bukanlah badan yang dibentuk dari nol melainkan hanya merupakan badan yang dibangun dengan menggabungkan dan mengkoordinasikan sejumlah fungsi yang sudah ada di lembaga lainnya yaitu ACC, AFP, ASIO, Australian Signals Direktorate, Computer Emergency Response Team (CERT) Australia dan Defence Intelligence Organisation.
Artinya ACSC hanya menerima laporan pengaduan adanya kejahatan "cyber" mulai dari dugaan spionase, "blackmail", peretasan, maupun serangan lain kemudian meneruskan ke lembaga yang berwenang, namun ACSC juga diberikan kewenangan untuk memberikan masukan dan asistensi kepada lembaga pemerintah maupun perusahaan.
Para klien ACSC bisa berasal dari lembaga pemerintah, perusahaan swasta maupun individu, sehingga pada hakikatnya semua orang dapat memberikan laporan maupun meminta bantuan kepada ACSC.
Apalagi kegiatan ekonomi berbasis internet di Australia pada 2014 mencapai 79 miliar dolar Australia atau 5,1 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Australia dan diperkirakan mencapai 139 miliar dolar Australia pada 2020.
Dari jumlah tersebut, kejahatan "cyber" membebani Australia hingga 1 miliar dolar Australia setiap tahun dan diperkirakan dapat mencapai 17 miliar dolar Australia per tahunnya. Sektor pemerintahan, telekomunikasi, energi, pertahanan, perbankan dan keuangan menjadi target dari kejahatan "cyber" tersebut.
Kunjungan tersebut juga dinilai penting karena Indonesia sedang mempersiapkan pendirian Badan "Cyber" Nasional (BCN).
Urgensi Pembentukan BCN
Ancaman "cyber" di Indonesia meningkat dilihat dari data yang dikeluarkan oleh Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII) di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sepanjang 2012.
Catatan ID-SIRTII adalah pada 2014, ada 48,8 juta serangan cyber di Indonesia. Serangan tersebut kebanyakan diakibatkan oleh adanya aktivitas "malware" sebanyak 12.007.808 insiden. Serangan akibat adanya celah keamanan sebanyak 24.168 kasus, kebocoran rekam jejak atau "record leakage" 5.970 kasus.
Ada juga serangan melalui "password harvesting" atau "phising" sebanyak 1.730 kasus dan serangan akibat kebocoran domain sebanyak 215 kasus. Dari angka tersebut, menurut ID-SIRTII, laman pemerintah atau beralamat go.id paling banyak diserang peretas.
"Cyber landscape trade sudah sangat kompleks yang melibatkan aktor individual, hacker sampai organisasi kriminal dan kelompok-kelompok teror yang menggunakan media sosial untuk melakukan propaganda bahkan instruksi serangan ke infrakstruktur vital kita sudah mulai meningkat. Jadi memang dinamika ancaman cyber meningkat drastis sehingga membutuhkan satu badan yang secara khusus menangani peningkatan ancaman ini," kata anggota Kelompok Kerja Pembentukan BCN Kemenkopolhukam Andi Widjojanto.
Menurut Andi, saat ini fungsi "cyber" di Indonesia menyebar di beberapa instansi. Contohnya pertahanan "cyber" ada di Kementerian Pertahanan dan Mabes TNI, fungsi signal intelijen yang ada di komunitas-komunitas intelijen, fungsi kejahatan "cyber" di Polri dan Kominfo, penyidik PNS yang menangani kejahatan "cyber" berada di Kominfo, fungsi persandian untuk mengamankan komunikasi negara di Lembaga Sandi Negara, fungsi perlindungan "cyber" di ID-SIRTII yang melapor ke Kominfo dengan dua Direktorat Jenderal di Kominfo, terakhir ada penapisan internet (filtering) yang juga ada di Kominfo.
"Fungsi-fungsi itu ada, tapi menyebar tanpa ada mekanisme sinergi di antaranya karena itu untuk membuat lebih efektif dan fokus, pemerintah memikirkan badan cyber ini," ungkap Andi.
Selanjutnya Indonesia juga akan memasuki era digital ekonomi dengan pembangunan Indonesia Broadband. Hal ini ditandai dengan peluncuran Palapa Ring Paket Barat, Tengah dan Timur yang dilakukan Kominfo dan diharapkan selesai pada 2019. Paket Barat yang bernilai Rp 1,28 triliun sudah mendapatkan pemenang tender yaitu konsorsium Moratel - Ketrosden Triasmita.
Sedangkan Paket Tengah senilai Rp 1,4 triliun akan dikerjakan oleh konsorsium Pandawa yang terdiri dari PT LEN, PT Teknologi Riset Global Investama, PT Sufia Technologies, PT Bina Nusantara Perkasa, dan PT Multi Kontrol Nusantara.
Kominfo juga sudah secara aktif mempromosikan revolusi digital Indonesia dengan meluncurkan desa-desa internet yang disebut "smart village" seperti yang dilakukan di beberapa desa di Banyuwangi.
"Tidak terelakkan Indonesia akan masuk ke digital ekonomi, yang mungkin putaran uangnya bisa 9-11 persen dari PDB dan bisa mendorong PDB Indonesia ke level Rp1.200-1.500 triliun dan kalau bisa dimaksimalkan berkontribusi ke pertumbuhan ekonominya hingga 1,7 persen dari PDB. Untuk masuk ke sana butuh pengamanan "cyber" yang bukan saja fokus ke sektor keamanan dan pertahanan intelijen, tapi justru lebih banyak berurusan ke sektor-sektor e-commerce dan digital," ungkap Andi.
Bukan Lembaga Baru
Namun BCN bukanlah lembaga baru sama sekali, melainkan mengintegrasikan fungsi-fungsi yang sudah ada di sejumlah badan pemerintah sebelumnya.
"Misalnya menghadirkan perlindungan "cyber" yang ada di Kominfo; menyatukan fungsi kriptografi di Lembaga Sandi Negera karena "cyber" butuh algoritma. Jadi ada penggabungan, sebagian dari Kominfo, Lembaga Sandi Negara dan lembaga lain untuk diintegrasikan menjadi badan baru dan mencari solusi bagaimana berkoordinasi dengan cyber defense, cyber crime, signal intelijen, tapi tidak mengarah kepada pembentukan badan yang sama sekali baru," jelas Andi.
Menurut Andi, Sumber Daya Manusia (SDM) untuk BCN pun sudah siap karena Lembaga Sandi negara punya sekitar 700 sandiwan yang sudah bersertifikat, tinggal meningkatkan kapasitas mereka dan melengkapi kompetensi "cyber" karena ada tujuh kompetensi "cyber" yang diakui secara global.
Selanjutnya SDM dari Kominfo dapat diberdayakan dari dua Ditjen ditambah dengan SDM ID-SIRTII yang berjumlah sekitar 300 orang. Apalagi pada tahap awal BCN tidak membutuhkan orang terlalu banyak yaitu hanya sekitar 300-400 orang.
Selanjutnya dari kesiapan infrastruktur juga tidak perlu dibangun baru sama sekali seperti gedung baru atau pusat data baru karena sudah ada pusat data di Kominfo maupun Lembaga Sandi Negara, tinggal menyinergikannya dalam BCN.
Bila dibandingkan dengan ACSC, pendekatan BCN juga mirip karena menggabungkan fungsi lintas kementerian dan lembaga.
"Pendekatannya mirip hanya kita menyesuaikan dengan sistem ketatatanegaraan dan birokrasi di Indonesia karena ACSC juga membuat semacam mekanisme koordinasi dan membagi tugas misalnya pembuat kebijakan itu tetap di kabinet, fungsi operasional khususnya emergency response team kalau ada serangan ke infrastruktur itu ada di badan cyber, lalu kalau serangannya mengarah ke korban-korban spesifik dibagi tugas ke kementerian/lembaga yang memiliki fungsi cyber," ungkap Andi.
Andi mengaku bahwa kajian BCN masih di Kemenkopolhukam tapi secepatnya akan dibuat Keputusan Presiden (Keppres) pembentukan badan ini.
"Sesegera mungkin setelah Lebaran bisa ke tangan presiden kemudian diputuskan Presiden melalui rapat kabinet bagaimana pembentukan badan cyber," tambah Andi.
Kelompok kerja pembentukkan BCN juga sedang memformulasi aturan legal dan kebijakan BCN yang rencananya akan selesai pada 2017 serta pemetaan penggunaan "cyber" di Indonesia dalam enm bulan ke depan.
Terakhir kelompok ini sedang terlibat dalam "Cyber Security Dialogue" namun sejauh ini baru Australia yang menjadi mitra Indonesia dengan mendorong satu pakar dari Indonesia untuk bisa masuk ke UNs Group of Governmental Experts on Cyber Security yang diketuai Australia.
Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016